MAKALAH
PERADABAN
ISLAM INDONESIA
PASCA
KEMERDEKAAN
Dipresentasikan
dalam Mata Kuliah
Sejarah Peradaban Islam
yang
diampu oleh: M. Rikza Chamami, MSI
Kuwatno NIM. 133511009
Rizki Fadilah NIM. 133511033
Roudloh Muna
Lia NIM. 123711039
Siti Diah
Andriani NIM. 133511035
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
TAHUN 2014
TAHUN 2014
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara
bahasa peradaban berasal dari bahasa Arab yaitu Al-hadharah Al-Islamiyah sedangkan dalam bahasa Inggris berasal
dari kata Civilization. Secara
istilah peradaban dapat diartikan sebagai perkembangan kebudayaan dan kemajuan
dalam berbagai bidang. Jadi peradaban Islam diartikan sebagai perkembangan
kebudayaan dan kemajuan Islam dalam berbagai bidang.
Peradaban
Islam di dunia secara dominan terjadi di Arab, karena pada masa itu pusat
pemerintahan hanya satu dan untuk beberapa abad sangat kuat berada di Arab.
Semua wilayah kekuasaan Islam menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa
administrasi. Semua ungkapan-ungkapan budaya juga diekspresikan dalam bahasa Arab,
meskipun ketika itu bangsa non-Arab juga sudah mulai berpartisipasi dalam
membina suatu kebudayaan dan peradaban.
Peradaban
Islam yang dibahas dalam kajian Islam hanya terbatas pada empat kawasan, yaitu
kawasan pengaruh kebudayaan Arab (Timur Tengah dan Afrika Utara), kawasan
pengaruh kebudayaan Persia (Iran dan negara-negara Islam Asia Tengah), kawasan
pengaruh kebudayaan Turki, dan kawasan pengaruh kebudayaan India Islam. Bukan
hanya terbatas pada empat kawasan, namun peradaban Islam di dunia juga terbagi
dalam tiga periode, yaitu periode klasik (650-1250 M), periode pertengahan
(1250-1800 M), dan periode modern (1800 sampai sekarang).
Peradaban
Islam itu sendiri tidak hanya ada di negara Timur Tengah tetapi juga ada di
negara Asia Tenggara misalnya Indonesia. Awal masuknya Islam ke Indonesia
terjadi pada abad ke-7 namun juga ada yang berpendapat pada abad ke-13. Islam
datang ke Indonesia dilakukan secara damai melalui beberapa saluran-saluran.
Menurut Uka Tjandrasasmita, saluran-saluran Islamisasi ada enam, yaitu:[1]
1.
Saluran Perdagangan
Mengutip
pendapat Tome Pires berkenaan dengan saluran Islamisasi melalui perdagangan ini terjadi di pesisir pulau
Jawa. Uka menyebutkan bahwa para pedagang muslim banyak yang bermukim di pesisir
pulau Jawa yang penduduknya waktu itu masih kafir. Bukan hanya untuk berdagang
mereka singgah di pulau Jawa tetapi juga untuk menyebarkan agama Islam,
sehingga di beberapa tempat penguasa-penguasa Jawa banyak yang Islam.
2.
Saluran Tasawuf
Pengajar-pengajar
tasawuf atau para sufi mengajarkan teosofi yang bercampur dengan ajaran yang
sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Tasawuf bentuk Islam yang diajarkan
kepada penduduk pribumi mempunyai persamaan dengan alam pikiran mereka yang sebelumnya
menganut agama Hindhu sehingga agama Islam mudah untuk dimengerti dan diterima.
3.
Saluran Kesenian
Tokoh
yang paling terkenal dalam menyebarkan Islam melalui kesenian adalah Sunan Kalijaga.
Ia begitu mahir mementaskan wayang dan ia jadikan pertunjukkan wayang sebagai
sarana dakwah. Ia tidak pernah meminta upah dari pertunjukkannya tetapi ia
meminta para penonton untuk mengikutinya mengucap kalimat syahadat. Dengan begitu para penonton sudah masuk agama Islam.
4.
Saluran Politik
Para
pedagang muslim menyebarkan Islam ada yang menggunakan cara memengaruhi Raja
atau penguasa terlebih dahulu untuk masuk Islam. Kebanyakan rakyat masuk Islam
setelah Rajanya memeluk Islam terlebih dahulu. Dengan begitu Islam akan mudah
untuk menyebar.
5.
Saluran Pendidikan
Saluran
ini di realisasikan dengan mendirikan pesantren dan pondok yang
diselenggarakan Ulama dan Kiai. Di
pesantren atau pondok itu, calon ulama, guru agama, dan Kiai mendapat
pendidikan agama. Setelah keluar dari pesantren mereka pulang ke kampung
masing-masing kemudian berdakwah ke tempat tertentu untuk mengajarkan Islam.
6.
Saluran Perkawinan
Saluran
ini dilakukan para pedagang muslim juga untuk menyebarkan agama Islam. Setelah
mereka mempunyai keturunan, maka lingkungan Islam akan semakin luas.
Peradaban
Islam di Indonesia berkembang lebih luas setelah agama Islam masuk ke Indonesia.
Sebelum merdeka bentuk negara Indonesia berupa kerajaan-kerajaan. Kerajaan Islam
pertamakali di Indonesia adalah kerajaan Samudra Pasai yang terletak di Pesisir
Timur Laut Aceh. Kerajaan ini muncul pada abad ke-13 M dan didirikan oleh Malik
al-Saleh. Setelah itu muncullah kerajaan-kerajaan Islam berikutnya.
Perkembangan
selanjutnya, peradaban Islam masih melekat dengan perkembangan Indonesia
sendiri. Islam turut berperan dalam perjuangan
melawan para penjajah di Indonesia sampai akhirnya Indonesia dapat
mengusir para penjajah dan mencapai kemerdekaannya.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana keadaan Islam di Indonesia dalam masa revolusi?
2.
Bagaimana peran Islam dalam kemerdekaan?
3.
Bagaimana korelasi peradaban Islam dan negara pancasila?
C. Tujuan
1. Mengetahui
keadaan Islam di Indonesia dalam masa revolusi
2.
Mengetahui peran Islam dalam
memperjuangkan kemerdekaan
3.
Mengetahui korelasi peradaban Islam dan
negara pancasila
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Islam Indonesia dalam Masa Revolusi
Setelah kemerdekaan, yang diperjuangkan dan telah
banyak mengorbankan jiwa umat Islam, namun posisi umat Islam dalam percaturan
politik belum cukup menggembirakan. Hal ini nampak di dalam berbagai lembaga
politik seperti BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia), umat Islam hanya terwakili sekirat 25%, sedangkan dalam PPKI
(Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) lebih sedikit lagi yaitu hanya
sekitar 12% saja dari seluruh jumlah anggota. Hanya dalam Panitia Sembilan umat
Islam lebih dominan.[2] Padahal
di kalangan rakyat sendiri, jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, telah lahir beberapa organisasi massa Islam, seperti Muhammadiyah yang didirikan oleh KH.
Ahmad Dahlan pada tahun 1908, Sarekat Dagang Islam pada tahun 1908 (pada tahun
1911 dirubah menjadi Sarekat Islam), NU (Nahdatul Ulama) pada tahun 1926, dan
organisasi-organisasi Islam yang lain.
Pada waktu proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, Piagam Jakarta sama sekali
tidak digunakan. Soekarno-Hatta justru membuat naskah teks proklamasi yang
lebih singkat, karena ditulis dalam kondisi tergesa-gesa. Perlu kita ketahui
juga bahwa menjelang hari kemerdekaan, setelah Jepang tidak dapat menghindari
kekalahannya dari tentara Sekutu, BPUPKI ditingkatkan menjadi PPKI. Berbeda
dengan BPUPKI yang khusus untuk pulau Jawa, PPKI merupakan perwakilan daerah seluruh
kepulauan Indonesia. Perubahan itu menyebabkan banyak anggota BPUPKI yang tidak
muncul lagi, termasuk beberapa orang anggota Panitia Sembilan. Presentase
Nasionalis Islam pun merosot tajam.[3]
Dalam suasana seperti itu, M. hatta dalam sidang
PPKI setelah kemerdekaan, beliau berhasil dengan mudah meyakinkan
aggota-anggota PPKI bahwa hanya satu konstitusi “sekular” yang mempunyai
peluang untuk diterima oleh mayoritas rakyat Indonesia. Tujuan kata dalam anak
kalimat yang tercantum dalam sila Pertama Pancasila dengan segala
konsekuensinya dihapus dari konstitusi.
Oleh golongan nasionalis “sekular”, keputusan itu
dianggap sebagai gentlemen’s agrement kedua
yang menghapuskan Piagam Jakarta sebagai
gentlemen’s agrement pertama.
Sementara itu, keputusan yang sama dipandang oleh golongan nasionalis Islam
sebagai bentuk penghianatan dari gentlemen’s
agrement itu sendiri. Bisa dibayangkan bagaimana kecewanya para nasionalis Islam
pada saat itu ketika menggetahui bahwa, Indonesia Merdeka yang mereka
perjuangkan dengan penuh pengorbanan itu, jangankan berdasarkan Islam, Piagam
Jakarta pun tidak.[4]
Dengan demikian, jelas bahwa keputusan tentang
penghapusan tujuh kata dari Piagam Jakarta itu sama sekali tidak mengakhiri
konflik ideologi yang telah berlangsung lama pada masa sebelum kemerdekaan.
Sebenarnya dalam konsep “Piagam Jakarta”, yang
dihasilkan oleh Panitia Sembilan pada tanggal 22 Juni 1945, terdapat jaminan
untuk menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluk Islam, tetapi satu
hari setelah kemerdekaan (tanggal 18 Agustus 1945) konsep tersebut di-“coret”
dan diganti hanya dengan kalimat ”Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sebenarnya suatu kalimat
yang sangat netral, namun memiliki banyak makna, menguntungkan bagi non-muslim
dan kelompok nasionalis, tetapi cukup merugikan dalam artian polotik bagi umat Islam.
Oleh karena alasan bahwa Indonesia sedang berjuang untuk menegakkan
kemerdekaannya, sehingga umat Islam tidak keberatan dengan adanya “pencoretan”
tersebut, tetapi akan berjuang untuk mengembalikanya pada waktu dan kondisi
yang sudah lebih baik.[5] Untuk
menghibur umat Islam yang dikecewakan oleh ditolaknya Islam sebagai dasar
negara, pada tanggal 3 Januari 1946 dibentuk Kementerian Agama (dulu bernama
Departemen Agama). Bagaimanapun, sebenarnya harus diakui bahwa kementerian ini
mengakomodir kepentingan umat Islam. Hal ini tampak jelas dari kenyataan bahwa
Kementerian Agama mengelola beberapa aspek kehidupan keagamaan sebagaimana
berikut:
a.
Pendidikan
Agama, seperti Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, dan perguruan tinggi
seperti IAIN dan STAIN
b.
Pengadilan
Agama, mulai dari Pengadilan Agama tingkat Kabupaten/Kota sampai Pengadilan
Tinggi Agama (PTA)
c.
Perjalanan haji
d.
Urusan Agama,
mulai dari pencatatan nikah, talak, rujuk, sampai pembinaan bangunan masjid,
zakat, waqa, infak, dan shadaqah.
Meskipun Kementerian Agama dibentuk, namun
sebenarnya hal ini tidak meredakan konflik ideologi pada massa sesudahnya.
Setelah Wakil Preseiden mengeluarkan maklumat No.X tentang diperkenankanya
partai-partai politik, maka tiga kekuatan yang sebelumnya bertikai menjadi
muncul kembali.[6]
Dari aspek politik, partai Masyumi
(Majelis Syuro Muslimin Indonesia), yang didirikan pada tanggal 7 November 1945
melalui Kongres Umat Islam di Yogyakarta, yang menjadi wadah aspirasi umat Islam
ini, pernah menjadi partai politik yang sangat kuat, dengan 49 kursi di
Parlemen dari 236 orang keseluruhan anggota parlemen, bahkan Masyumi juga
memenangkan pemerolehan suara di hampir seluruh provinsi di Indonesia. Masyumi
masuk hampir di semua kabinet dan bahkan pernah memimpin kabinet, misalnya
kabinet Natsir (1950-1951), kabinet Sukiman (1951-1952), dan kabinet
Burhanuddin Harahap (1955-1956). Oleh karena adanya konflik internal, partai Islam
yang begitu kuat ini harus kehilangan sebagian kekuatannya, yaitu dengan
keluarnya NU (Nahdlatul Ulama) dan PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia) dari Masyumi. Selain itu, tekanan dari luar dan
perbedaan visi politik dengan penguasa, yakni Soekarno, akhirnya Masyumi
dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960.[7]
Partai Sosialis yang mengkristalisasikan falsafah
hidup Marxis berdiri pada tanggal 17
Desember 1945 dan PNI (Partai Nasional Indonesia) yang mewadahi cara hidup nasionalis
“sekular” pun muncul pada tanggal 29 Januari 1946. Partai-partai yang berdiri
sesudah itu dapat dikategorikan ke dalam tiga aliran utama ideologi yang
terdapat di Indonesia yaitu Masyumi, Partai Sosialis dan PNI. Partai-partai Islam
setelah merdeka selain Masyumi adalah PSII yang keluar dari Masyumi tahun 1947,
Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), dan NU yang keluar dari masyumi tahun
1952.[8]
Untuk memperjuangkan Islam dan melawan hegemoni
kekuatan tirani Soekarno, terdapat serangkaian perlawanan, mulai dari yang
inkonstitusional (seperti pemberontakan DI/TII di Jawa Barat di bawah pimpinan
Kartosuwiryo, di Aceh pimpinan Daud Beureueh, DI/TII Sulawesi Selatan di bawah pimpinan Kahar Muzakkar, dan kemudian
PRRI di Sumatra Tengah, serta PERMESTA di Sulawesi Selatan. Namun semuanya
secara fisik mengalami kekalahan, sekalipun mungkin ada ide-idenya yang
kemudian senantiasa hidup dan diperjuangkan dalam bentuk lain.[9]
B. Peran Islam dalam Kemerdekaan
Peran
Islam dalam kemerdekaan secara garis besar dapat dibagi menjadi peran pada masa
penjajahan Belanda, peran pada masa penjajahan Jepang, dan peran dalam
mempertahankan kemerdekaan.
1. Masa
Penjajahan Belanda
Pada
zaman kerajaan-kerajaan Islam para ulama berperan sebagai penasehat raja-raja
(sultan) untuk menentukan langkah-langkah politiknya. Namun ketika
sultan-sultan sudah tidak mempunyai kekuatan politik lagi, maka para ulama
sendiri yang berperan menggalang rakyat
yang tidak punya raja karena rajanya sudah dikalahkan oleh penjajah. Ulama atas
nama Islam menggalang kekuatan untuk melawan penjajah. Peran politik ulama
telah menjadi pelajaran politik umat Islam di Indonesia dan telah menumbuhkan
rasa cinta tanah air dan anti kolonial.[10]
Meluasnya
penjajahan Belanda mendorong para kiai dan ulama untuk tampil sebagai pemimpin
dan menghimpun rakyat dengan cara menghubungi beberapa pesantren. Melalui
khutbah-khutbahnya mereka membantu rakyat untuk melepaskan diri dari kekejaman
Belanda. Mereka mendapatkan dukungan secara meluas, namun karena hanya bersifat
lokal gerakan itu kurang terkoordinasi dan akhirnya dengan cepat dapat ditumpas
oleh Belanda.
Salah
satu ulama yang berperan dalam usaha melawan penjajahan adalah Kh. Ahmad Dahlan
dengan Muhammadiyah dan Kh. Hasyim
Asy’ari dengan Nahdhotul Ulama. Walaupun dari latar belakang yang berbeda namun
tujuan mereka sama yakni ingin menjadikan Islam sebagai “landasan ideologis”
dan selanjutnya menjadikan Islam sebagai perjuangan politik untuk melawan
kekuasaan kolonial; menjadikan Islam sebagai sarana dalam mengangkat harkat diri
berhadapan dengan kekuasaan kolonial.[11]
Selain
itu munculnya gagasan nasionalisme yang diikuti dengan berdirinya partai-partai
politik merupakan modal utama umat Islam dalam perjuangannya untuk mewujudkan
negara merdeka yang bebas dari pengaruh politik barat. Partai politik besar
yang menentang penjajahan di Indonesia adalah Sarekat Islam, didirkan tahun
1912 di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto, partai ini merupakan kelanjutan dari
Sarekat Dagang Islam yang didirikan oleh H. Samanhudi tahun 1911. Sebagai
organisasi politik pelopor nasionalisme Indonesia, SI pada dekade pertama
adalah organisasi politik besar yang merekrut anggotanya dari berbagai kelas
dan aliran yang ada di Indonesia. Waktu itu, ideologi bangsa memang belum
beragam, semua bertekad ingin mencapai kemerdekaan. Ideologi mereka adalah
persatuan dan anti-kolonialisme.[12]
Pada zaman kolonialisme juga dibentuk Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang
merupakan himpunan umat muslim indonesia yang dapat mempersatukan semua
kekuatan kaum muslimin.
Kelahiran
organisasi-organisasi Islam memberikan suasana yang hidup dan teratur, sehingga
memberi citra yang baik kepada kehidupan umat Islam sehingga pemerintah
kolonial menjadi segan karenanya.
2. Masa
penjajahan Jepang
Masa
penjajahan Jepang di Indonesia jauh lebih kejam dari penjajahan Belanda. Jepang
ingin menghapus Islam dan menggantinya dengan agama Shinto. Untuk mewujudkan
tujuannya, Jepang memanfaatkan para pemimpin Islam. Jepang memanfaatkannya
untuk menyebarkan kebudayaan Jepang dengan cara mendoktrin ulama melalui
latihan-latihan. Dalam latihan-latihan tersebut para ulama diindoktrinasi
dengan ide-ide Jepang dan diusahakan juga untuk menghapuskan ide-ide pan-Islamisme
dengan pan-Asia dan Jepang.
Pada
masa penjajahan Jepang dibentuklah Masyumi pada tanggal 24 Oktober 1943 untuk
menggantikan MIAI karena Jepang tidak suka dengan MIAI yang sulit untuk
dikendalikan. Dalam Masyumi semua organisasi muslim tergabung. Basis organisasinya
adalah semua organisasi yang tergabung di MIAI, Muhammadiyah, NU dan Persatuan Islam
(Persis). Pemerintah pendudukan Jepang mengizinkan pula untuk mengadakan inti
kekuatan Islam yang bernama Hisbullah.[13]
Ternyata
bangsa Indonesia dan umat Islam cepat menyadari bahwa Jepang ingin mempunyai
tujuan buruk dan ingin mengahpuskan Islam dan menggantinya dengan Shinto.
Akhirnya muslim Indonesia melakukan perlawanan dengan cara keras maupun lunak.
Sikap keras dengan perang diperlihatkan oleh ulama secara individual. Sikap
lunak diperlihatkan oleh pemimpin-pemimpin muslim melalui organisasi-organisasi.
Cara
keras yang diperlihatkan ulama-ulama secara individual menimbulkan
pemberontakan lokal terhadap Jepang seperti pemberontakan Teungku Abdul Jalil
di Aceh, pemberontakan pemuda Muhammadiyah di Pontianak, pemberontakan di
Indramayu, di Blitar, dan lain sebagainya.
Dari
pemerontakan-pemberontakan itu dapat disimpulkan bahwa motif pemberontakan itu
pada hakikatnya selain motif kekejaman Jepang tetapi juga motif membela agama Islam.
Selanjutnya
sikap para pemimpin muslim dan para ulama yang sudah diarahkan oleh Jepang
untuk membentuk organisasi buatan Jepang dengan maksud dapat menjadi alat
pencapai tujuannya, ternyata telah bertolak belakang dengan harapan Jepang.
Kelak organisasi itu akan meningkatkan semangat kebangsaan dan menyelamatkan Islam
dari kerusakan. Organisai itu menggunakan kesempatan yang diperoleh untuk
memperkuat persatuan kaum muslimin Indonesia dalam rangka mempersiapkan kemerdekaan
dan menyebarkan ajaran-ajaran agama Islam sekaligus menghilangkan pengaruh Shinto
yang telah disebarkan Jepang.
Sebagai
contoh, ketika Jepang membentuk Hisbullah dengan maksud membantu Jepang untuk
jihad, ternyata para ulama memberontak. Dan kemudian Hisbullah yang dilatih dan
dipersiapkan oleh Jepang justru membentuk korp militer untuk kepentingan kemerdekaan
Indonesia. Demikian juga Masyumi. Dalam sebuah konferensi yang diadakan di Jakarta
tanggal 12 oktober 1944 keluar pernyataan “mempersiapkan masyarakat muslim
indonesia agar siap menerima kemerdekaan”. Pernyataan ini diikuti oleh
cabang-cabang di seluruh Indonesia. Pada tanggal 24 oktober 1944 pemuda-pemuda
muslim memutuskan “mempersiapkan diri dengan sungguh-sungguh dan sukarela untuk
berjuang demi lahirnya kemerdekaan tanah air Indonesia, bangsa, dan agama.”[14]
Di kala proklamasi dicanangkan, umat Islam sedang
berada dalam persatuan yang kokoh. Organisasi Masyumi cukup dijadikan alat
untuk membangkitkan segenap kekuatan kaum muslimin melakukan perebutan
kekuasaan dari Jepang dan mempertahankannya dari Belanda.
Karena persatuan kaum muslimin yang kukuh dan kuat
dan muslim yang bersatu, bersatu pula dengan kaum pergerakan nasional , mampu
dalam waktu yang singkat menyusun rancangan UUD 1945. Dalam perancangan UUD
1945 terdapat beberapa tokoh yang mewakili Isam, antara lain Abdul Kahar
Muzakkir, Wachid Hasyim, Agus Salim, dan Abikusno Tjokrosujoso.
3. Mempertahankan kemerdekaan
Setelah proklamasi kemerdekaan diproklamirkan, bukan
berarti Indonesia telah bebas secara menyeluruh dari ancaman-ancaman penjajah.
Kolonial Belanda dan Jepang masih mengancam keutuhan NKRI. Selain itu setelah
kmerdekaan terjadi status quo (kekosongan kekuasaan) yang tambah mempersulit
keadaan.
Ketika itu lah bung Tomo sebagai pemimpin
pemberontakan rakyat Indonesia, makin gencar menggelorakan semangat rakyat dan
menyerukan untuk tetap siaga, tak henti-hentinya mengobarkan semangat rakyat
dengan memekikkan “Allahuakbar”.
Barisan-barisan yang berusaha untuk mempertahankan
kemerdekaan berasal dari bermacam-macam kelompok dan daerah. Antara lain API
(Angkatan Pemuda Indonesia), BARA (Barisan Rakyat Indonesia), BBI (Barisan
Buruh Indonesia). Sedangkan di Jawa lahir Hisbullah, Sabilillah, dan lain-lain.
Di Aceh ada PRI (Pemuda Republik Indonesia) yang dipimpin oleh A. hasyimi.
Selain organisasi besar yang berbasis Islam ada pula barisan Kiai, barisan Sabil,
Mujahidin, dan lain sebagainya.[15]
C. Peradaban Islam dan Negara Pancasila
1. Bidang Pendidikan
Bagi
semua umat manusia, pendidikan merupakan persoalan penting dalam hidup dan
kehidupan. Pendidikan selalu menjadi tumpuan harapan untuk mengembangkan
individu dan masyarakat. Pendidikan merupakan wahana, sarana, dan proses, serta
alat untuk mentransfer warisan umat dari nenek moyang kepada anak cucu dan dari
orang tua kepada anak. Persoalan pendidikan merupakan faktor penentu
perkembangan umat, harus menjadi prioritas utama untuk dilaksanakan,sebab
sampai saat ini masyarakat Muslim sangat terbelakang di bidang pendidikan.
Sistem
pendidikan Islam di Indonesia merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional
Indonesia. Pendidikan Islam di Indonesia diberikan pada tiga sektor, yaitu non
formal, informal, dan formal. Yang bersifat non formal, biasanya diberikan di
masjid-masjid, surau, dan langgar. Kegiatan utama yang diberikan pada sektor
ini adalah penidikan al-Quran, tajwid, dan ibadah seperti wudlu dan shalat.
Pendidikan in formal, diberikan di rumah dengan menekankan pada pengajaran
individu, khusunya dalam belajar al-Quran sesuai dengan tingkatan pelajar.
Sedangkan sistem pendidikan formal diberikan di sekolah, masyarakat, dan
pesantren. Bagi lembaga-lembaga organisasi Islam yang mengelola lembaga
pendidikan Islam, kecuali pesantren, mempergunakan kurikulum pemerintah dalam
lembaga pendidikan mereka, dengan memberi penekanan sedikit pada pengajaran
agama Islam. Jadi, dapat dikatakan bahwa madrasah dikategorikan ke dalam dua
bentuk kurikulum, yaitu madrasah yang menyediakan ilmu-ilmu keIslaman dan
madrasah yang menyediakan ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu keIslaman.[16]
Setelah
Indonesia merdeka, terutama setelah berdirinya Departemen Agama, persoalan
pendidikan agama Islam mulai mendapat perhatian lebih serius. Badan pekerja
Komite Nasional Pusat dalam bulan Desember 1945 menganjurkan agar pendidikan
madrasah diteruskan. Badan ini juga mendesak pemerintah agar memberikan bantuan
kepada madrasah. Ketika mendapat desakan seperti itu, Departemen Agama dengan
segera membentuk seksi khusus yang menyusun pelajaran dan pendidikan agama Islam
dan Kristen, mengawasi pengangkatan guru-guru agama, dan mengawasi pendidikan
agama. Pada tahun 1946, Departemen Agama mengadakan latihan 90 guru agama, 45
diantaranya kemudian diangkat sebagai
guru agama. Pada tahun 1948, didirikanlah sekolah guru dan hakim Islam di Solo.
Haji
Mahmud Yunus ,seorang lulusan Kairo yang di zaman Belanda memimpin Sekolah
Normal Islam di Padang, menyusun rencana pembangunan pendidikan Islam. Ketika
itu ia mengepalai seksi Islam dari Kantor agama propinsi. Dalam rencananya,
Ibtidaiyah selama 6 tahun, Tsanawiyah pertama 4 tahun dan Tsanawiyah atas 4
tahun.
Akan
tetapi, semua yang sudah dirintis itu, mengalami kemandegan karena terjadinya
aksi militer Belanda kedua. Setelah revolusi selesai, usaha untuk
mengkoordinasi sekolah-sekolah agama dimulai kembali, bukan saja untuk Jawa dan
Sumatra, melainkan seluruh Indonesia. Setelah itu, banyak lembaga pendidikan
agama yang didirikan, seperti Madrasah Ibtidaiyah (6 tahun), Tsanawiyah (4
tahun), Aliyah 3 tahun, Sekolah Guru Agama Islam (5 tahun bagi lulusan sekolah
dasar baik umum maupun agama, 2 tahun bagi lulusan SMP atau tsanawiyah),
Sekolah Guru dan Hakim Agama Islam / SGHA (4 tahun bagi lulusan SMP atau
tsanawiyah). Dua sekolah terakhir mengalami perubahan pada tahun 1953.
Sedangkan SGHA dihapuskan tahun 1954 dan digantikan dengan Pendidikan Hakim Islam
Negeri.
Untuk
jenjang Perguruan Tinggi juga mendapat perhatian dari Kementrian Agma, yaitu
mulai tahun 1950. Pada tanggal 26 September 1951 secara resmi dibuka perguruan
tinggi dengan nama Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di bawah
pengawasan kementrian agama. Pada tahun 1957, di Jakarta didirikan Akademi
Dinas Ilmu Agama (ADIA). Pada tahun 1960 , PTAIN dan ADIA disatukan menjadi
Institut Agama Islam Negeri (IAIN), juga di bawah kementrian agama.
IAIN
ini bermula dengan dua fakultas di Yogyakarta dan dua di Jakarta, tetapi segera
berkembang sehingga masing-masing mempunyai 4 fakultas : Ushuluddin yang
menekankan segi-segi ilmu agama Islam yang bersifat spekulatif, seperti
filsafat, tasawuf, perbandingan agama dan dakwah; syariah yang menekankan
aspek-aspek praktis dari agama, yurisprudensi, tafsir, pengetahuan hadits, dan
sebagainya, tarbiyah (pendidikan) menekankan latihan untuk guru agama.
Adab atau ilmu kemanusiaan untuk spesialisasi sejarah Islam serta Bahasa Arab
secara khusus. Pada masa selanjutnya lahir satu fakultas baru, yaitu Fakultas
Dakwah.
IAIN
ini terus berkembnag pesat. Pada tahun 1992 ada 14 buah IAIN di seluruh Indonesia. Juga bermula dari Jakarta dan
Yogyakarta, pada awal tahun 1980-an dibuka Program Pasca Sarjana IAIN. Sampai
tahun 1992, Progam Pasca Sarjana IAIN sudah mengeluarkan puluhan orang doktor.[17]
2. Bidang Politik
Sejak ditumpasnya peristiwa “G30 S/PKI” pada tanggal
30 Oktober 1965 M., bangsa Indonesia telah memasuki fase baru yang dinamakan
Orde Baru.Pada masa orde baru ini terdapat peristiwa dekrit 5 Juli 1959, di
samping mengukuhkan kembali UUD 1945 dan pembubaran Majlis Konstituante, juga
menandai datangnya suatu sistem politik yang disebt Demokrasi Terpimpin.[18]
Masa
demokrasi terpimpin yang menimbulkan banyak kekacauan dan ketegangan politik
serta keruntuhan ekonomi bagi umat Islam merupakan tahun-tahun kekecewaan dan
frustasi. Akan tetapi masa yang dipandang buruk itu juga membawa hikmah sendiri
bagi mereka. Sampai tahap tertentu,
perhatian telah dialihkan dari pihak politik kepada masalah-masalah
pendidikan, pengajaran agama, dakwah Islam, latihan kepemimpinan, dan penulisan
bahan bacaan. Dalam hal ini, Kementrian Agama mulai memainkan suatu peranan
penting.[19]
Kemudian setelah fase orde baru berakhir, muncul
pemerintahan pasca orde baru yang demokratis. Hal ini tercermin dari kebebasan
mendirikan partai politik. Tercatat ada 48 partai baru yang mengikuti Pemilu
1999, termasuk di dalamnya partai-partai Islam. Keadaan ini juga mempengaruhi
ulama untuk kembali aktif di dunia politik dengan terjun langsung untuk
memenangkan partai tertentu sesuai dengan posisinya.[20]
Politik
memang mampu membuat ulama-ulama terpolariasi sedemikian rupa. Kampanye
Pemilu1999 misalnya, diwarnai dengan menghamburnya para kiai untuk membela
partai politiknya masing-masing sesuai dengan basis keulamaan mereka.
Ulama-ulama NU terdapat pada partai PKB,yang merupakan satu-satunya partai yang
direstui PBNU. Secara individu, para Kiai NU mendirikan partai-partai seperti
PKU yang didirikan K.H. Yusuf Hasyim, PNU oleh K.H.Syukron Makmun, dan yang
terpenting tentu PPP yang banyak di dukung ulama NU seperti K.H Alawi Muhammad,
K.H Maimun Zubair, serta kebanyakan ulama Betawi yang sangat berpengaruh pada
kemenangan PPP di Jakarta.
Kehadiran ulama dalam politik seharusnya berdampak
positif, dalam pengeertian memberikan sumbangan bagi terciptanya bangunan
struktur politik yang bermoral, karena ualma adalah simbol moral. Namun, ketika
ulama itu terpolarisasi sedemikian rupa, sehingga sering antara seorang ulama
dengan ulama lain saling berhadapan dalam membela partainya masing-masing.
Kondisi ini akan menimbulkan perpecahan dan dampaknya membingungkan rakyat,
paling tidak akan memperlemah kekuatan umat Islam sendiri yang akhirnya sering
dimanfaatkan oleh golongan (partai) lain.
Kondisi
politik pada masa pasca kemerdekaan tidak menimbulkan perdebatan politik
ideologis terbuka pada saat itu, hubungan politik yang relatif harmonis antara
kelompok Islam dan nasionalis benar-benar tercipta. Ungkapan yang mencoba
mempersoalkan Pancasila secara terang-terangan dari para pemimpin politik Islam
juga jarang terjadi. Bahkan Mohammad Natsir, ketua umum Partai Masyumi yang di
masa-masa sebelumnya giat mengkampanyekan gagasan negara Islam, pada sekitar
1951 M menyatakan bahwa karena dimasukkannya prinsip “percaya kepada Tuhan” ke
dalam Pancasila, Indonesia tidak menyingkirkan agama dari masalah negara.
Kenyataan ini menunjukkan perkembangan hubungan politik antara Islam dan negara
pada dasarnya relatif baik. Penerimaan Pacasila sebagai ideologi negara tidak
sanggup sebagai perwujudan keinginan untuk memisahkan agama (Islam) dari
negara. Bahkan dengan dimasukkannya pernyataan monoteistik “Ketuhanan Yang Maha
Esa” ke dalam dasar negara, Indonesia sudah dipandang seolah-olah sebuah
“negara Islam”. Hal ini merupakan sebuah ilustrasi yang dapat menggambarkan
sikap para pemimpin Muslim tentang penerimaan mereka terhadap pancasila.
Hubungan
politik yang harmonis antara Islam dan negara seolah-olah berakhir dengan
memanasnya situasi politik tanah air karena persiapan pemilu yang direncanakan
pada 1955 M. Perkembangan ini mengakibatkan kesepakatan ideologis yang dicapai
sehari setelah proklamasi mulai pudar. Karean alasan ini, para elit politik
negara terlibat dalam perdebatan ideologis-politik mengenai bentuk negara dan
kerangka konstitusionalnya. Dengan mengangkat kembali isu ideologi negara,
kedua kelompok politik berlomba untuk memperebutkan jumlah kursi di Majlis
Konstituante, dan dengan sendirinya semakin mempertegas politik mereka
masing-masing.[21]
3. Bidang Budaya
Produk
kesenian Islam di Indonesia sebenarnya sangat minim apabila dibandingkan dengan
produk kesenian di negara Islam yang lain. Hal itu, karena semangat yang
mendorong Muslim di negara lain untuk menciptakan pekerjaan besar tidak muncul
di Indonesia. Kalaupun ada, biasanya hanya berasal dari pengaruh luar atau
hanya berupa peniruan yang tidak begitu sempurna. Diantara penyebab kesenian Islam
tidak begitu berkembang adalah :
a. Islam datang ke Indonesia akibat dampak
kehancuran Baghdad, sehingga para pedagang ataupun ulama yang datang pada saat
itu lebih memikirkan keselamatan mereka.
b. Di Indonesia, terutama di pulau Jawa pada saat Islam
datang sudah memiliki peradaban asli yang dipengaruhi oleh budaya Hindu dan
Budha, yang sudah mengakar kuat terutama di pusat pemerintahan. Hal itu yang
menyebabkan seni Islam harus menyesuaikan diri.
c. Mayoritas umat Islam pendatang adalah pendatang
yang berorientasi mencari keuntungan. Kalaupun ada ulama yang tidak
berorientasi pada hal itu, mereka berdakwah dan tidak menetap pada tempat
tertentu, sehingga mereka tidak berpikir untuk membuat sesuatu yang abadi.
d. Ketika ada usaha kaum pribumi untuk membangun
masjid, usaha itu dihancurkan oleh orang Barat yang sejak semula memang sudah
bersikap memusuhi terhadap umat Islam.
e. Islam yang datang ke Indonesia bercorak Islam
tasawuf, sehingga lebih mementingkan Islam rohani daripada masalah duniawi.
f. Nusantara adalah negeri yang merupakan jalur
perdagangan internasional, sehingga penduduknya lebih mementingkan masalah
perdagangan daripada kesenian.
g. Islam datang dengan jalan damai. Asalkan tidak
melanggar aturan agama, maka kesenian tidak dilarang. Karena itulah aspek seni
dan budaya yang ada di Indonesia tidak sehebat di negara Islam yang lain.
Walaupun
terdapat faktor-faktor yang meghambat perkembangan seni budaya Indonesia, akan
tetapi ada beberapa produk budaya yang sangat penting.
Islam
datang ke Indonesia lengkap dengan seni dan kebudayaannya, maka Islam Indonesia
tidak lepas dari budaya Arab. Permulaan berkembangnya Islam di Indonesia, dirasakan
demikian sulit untuk mengantisipasi adanya perbedaan antara ajaran Islam dengan
kebudayaan Arab.Tumbuh berkembangnya Islam di Indonesia sedemikian rupa oleh
para juru dakwah melalui berbagai macam cara, baik melalui bahasa maupun budaya
seperti halnya dilakukan oleh para walisongo di Pulau Jawa. Para walisongo
tersebut dengan segala kehebatannya dapat menerapkan ajaran dengan melalui
bahasa dan budaya daerah setempat, sehingga masyarakat secara tidak sengaja
dapat memperoleh nilai-nilai Islam yang
pada akhirnya dapat mengemas dan berubah menjadi adat istiadat dalam kehidupan
sehari-hari, dan secara langsung hal ini juga menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari kebudayaan bangsa Indonesia , misalnya setiap diadakan
upacara-upacara adat banyak menggunakan bahasa Arab (al-Quran), yang sudah
secara langsung masuk ke dalam bahasa daerah dan Indonesia, hal tersebut tidak
disadari bahwa sebenarnya yang dilakasanakan tidak lain adalah ajaran-ajaran Islam.[22]
Berkaitan
dengan nilai-nilai Islam dalam kebudayaan Indonesia yang lain, juga dapat
terlihat dari ciri dan corak bangunan masjid di Indonesia yang juga mengalami
tumbuh kembang, baik terdiri dari masjid-masjid tua maupun yang baru, misalnya
masjid-masjid yang dibangun oleh Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, pada
umumnya hampir mirip dengan bentuk joglo yang berseni budaya Jawa.
Masjid yang lain seperti masjid Agung Banten (bangunan menara dan madrasah),
masjid menara Kudus (bangunan bagian depan berwujud pintu gerbang dan diubah
dengan gaya arsitektur kayu Indonesia), masjid Sumatra Barat (pembangunan
puncak tumbang dengan mahkota kubah), itu semua merupakan contoh masjid tua
yang kemudian diperbaiki dengan ditambah konstruksi baru atau mengganti
tiang-tiang kayu dengan tiang batu atau beton, lantai batu dengan ubin dan
dinding sekat dengan tembok kayu. Masjid di Indonesia mempunyai komponen yaitu
kubah, menara, mihrab, dan mimbar.
Peran
pemerintah dalam perkembangan Islam pasca kemerdekaan :
a. Hari-hari besar Islam, seperti 1 Muharam, Maulid
Nabi, nuzul al-Quran, Isra’ Mi’raj, Idul Fitri, dan Idul Adha.
b. Mendirikan Departemen Agama RI pada 3 Januari
1945.
Adapun
tujuan Departemen Agama yang dirumuskan pada tahun 1967 adalah sebagai berikut
:
1)
Mengurus dan mengatur pendidikan agama
di sekolah-sekolah, serta membimbing perguruan-perguruan agama.
2)
Mengikuti dan memperhatikan hal yang
bersangkutan dengan agama dan keagamaan.
3)
Memberikan penerangan dan penyuluhan
agama.
4)
Mengurus dan mengatur peradilan agama
serta menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan hukum agama.
5)
Mengurus dan memperkembangkan IAIN,
perguruan tinggi agama swasta dan pesanten luhur, serta mengurus dan mengawasi
pendidikan agama pada perguruan-perguruan tinggi,
6)
Mengatur, mengurus, dan mengawasi
penyelenggaraan ibadah haji.[23]
c.
Membentuk Majlis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1975 M dengan struktur yang
menyebar sampai ke tingkat desa. Masjid Ulama Indonesia berfungsi :
1)
Memberikan fatwa dan nasehat mengenai
masalah keagamaan dan kemasyrakatan kepada pemerintah dan umat Islam , dalam
usaha meningkatkan ketahanan nasional.
2)
Mempererat ukhuwah Islamiyah dan
memelihara serta meningkatkan suasana kerukunan antar umat beragama dalm
mewujudkan persatuan dan ketahanan nasional.
3)
Mewakili umat Islam dalam konsultasi
umat beragama.
4)
Penghubung antara ulama dan umara
(pemerintah) serta menjadi penerjemah timbal balik antara peerintah dan umat
guna menyukseskan pembangunan nasional.
d.
Menyelenggarakan pengurusan ibadah haji dan tanah air.
Semenjak
zaman penjajahan Belanda,umat Islam Indonesia ingin mempunyai kapal laut untuk
dipergunakan dalam pelaksanaan perjalanan ibadah haji. Iuran dikumpulkan, saham
diedarkan, tetapi selama zaman jajahan keinginan ini tidak terwujud. Setelah
Indonesia merdeka, usaha ini dilanjutkan. Pada tahun 1950 sebuah Yayasan Perjalanan
Haji Indonesia didirikan. Pemerintah memberikan kuasa kepada yayasan itu untuk
menyelenggarakan perjalanan haji. Sebuah bank, Bank Haji Indonesia , dan sebuah
perusahaan kapal, Pelayaran Muslimin Indonesia didirikan.
e. Menetapkan UU No. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan.
f. Melembagakan MTQ secara nasional dari tingkat
pusat sampai ke tingkat desa.
g. Mendirikan dan meresmikan masjid, serta Badan
Amil Zakat (BAZ).
h. Ikut seta dalam memberikan kerukunan hidup umat
beragama baik intern umat beragama serta antar umat beragama dan pemerintah.
i. Memberlakukan secara yuridis-formal sebagian
hukum Islam, yaitu penyelenggaraan Peradilan Islam Indonesia, dengan
undang-undang pada tahun 1989 M.
4. Bidang Kesenian
Kesenian Islam yang ada di Indonesia adalah sebagai
berikut:
a.
Batu Nisan
Kebudayaan Islam
dalam bidang seni, mula-mula masuk ke Indonesia dalam bentuk batu nisan.
Batunya terdiri dari pualam putih diukur dengan tulisan Arab yang sangat indah
berisikan ayat al-Quran dan keterangan tentang orang yang dimakamkan serta hari
dan tahun wafatnya. Makam-makam yang serupa dijumpai pula di Jawa, seperti
makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik.
b.
Arsitektur (Seni Bangun)
Arsitektur
Indonesia setelah merdeka dan dapat berhubungan dengan negara lain, maka unsur
lama, yang merupakan peniruan dari seni arsitektur Hindu-Budha secara berangsur-angsur hilang. Pada masa
peralihan ke arah corak baru masih sering terlihat perpaduan antara keduanya,
terutama pada atapnya (seperti corak lama), yaitu jumlah atapnya masih tumpang
dua, yang ketiga diganti dengan kubah peniruan dari masjid Timur Tengah atau
India. Pada tahap selanjutnya, atap tumpang ditinggalkan dan ciri masjid
menjadi kubah, misalnya Masjid Kutaraja yang didirikan oleh Belanda tahun 1878.
Kemudian masjid yang menyerupai Taj Mahal India adalah Masjid Syuhada di
Yogyakarta dan Masjid Al-Azhar di Jakarta.[24]
c.
Seni Sastra
Bidang sastra
Indonesia banyak pengaruhnya dari Persia, antara lain buku-buku yang kemudian
disadur ke dalam bahasa Indonesia Kalilah wa Dimmah, Bayam Budiman, Abu
Nawas, dan Kisah Seribu Malam. Hampir semua cerita salinan itu
dinamakan hikayat dan dimulai dengan nama Allah dan shalawat nabi.
5.
Bidang Ekonomi
Indonesia
sedikit tertinggal jika dibandingkan dengan negara Muslim lain dalam pendirian
Bank Syariah sebagai bentuk awal
pertumbuhan ekonomi Islam di berbagai belahan dunia Islam. Di Indonesia,
pendirian bank yang beroperasi berdasarkan prinsip Syariah pertama kali bermula
pada tahun 1991 M, tetapi baru beroperasi pada tahun 1992 M, itu pun belum
memakai nama Bank Syariah tetapi sebagai bank bagi hasil, karena memang belum
ada payung hukum yang menjadi naungan berdirinya Bank Syariah di Idonesia.
Dengan demikian, Indonesia tertinggal 9 tahun dari Malaysia dalam memulai
praktik ekonomi Islam, khususnya dalam Bank Syariah.
Pada tahun 1998
M., pemerintah mengundangkan Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang perubahan
terhadap Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan, yang didalmnya sudah
memuat tentang operasi perbankan berdasarkan prinsip syariah. Setahun kemudian
pemerintah mengundangkan UU No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang dalam
pasal 10 menyatakan bahwa BI menerapkan policy keuangan berdasarkan prinsip-prinsip
syariah. Hadirnya 2 undang-undang tersebut semakin memperkokoh landasan yuridis
eksistensi Bank Syariah di Indonesia.
Dalam bidang
akademik, beberapa universitas terkemuka di Indonesia juga semangat
mengembangkan kajian akademik tentang ekonomi syariah. Berdasarkan gambaran di
atas, perkembangan dan pertumbuhan praktek ekonomi Islam di Indonesia, terutama
di era reformasi memberian harapan besar yang menumbuhkan optimisme bagi umat Islam
untuk terus berupaya mengembangkan ekonomi Islam di Indonesia.[25]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah
kemerdekaan, yang diperjuangkan dan telah banyak mengorbankan jiwa umat Islam,
namun posisi umat Islam dalam percaturan politik belum cukup menggembirakan.
Hal ini nampak di dalam berbagai lembaga politik seperti BPUPKI (Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), umat Islam hanya terwakili
sekirat 25%, sedangkan dalam PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia)
lebih sedikit lagi yaitu hanya sekitar 12% saja dari seluruh jumlah anggota.
Hanya dalam Panitia Sembilan umat Islam lebih dominan.
Peran islam dalam kemerdekaan
secara garis besar dapat di bagi menjadi tiga masa:
1. Peran
islam dalam masa penjajahan Belanda
2. Peran islam dalam masa penjajahan Jepang
3. Peran islam dalam mempertahankan kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka terdapat keterkaitan
antara perkembangan peradaban islam dan negara Pancasila dalam beberapa bidang
kehidupan, di antaranya:
1. Bidang
Pendidikan
2. Bidang
Politik
3. Bidang
Budaya
4. Bidang
Kesenian
5. Bidang
Ekonomi
B. Saran
Demikian makalah ini kami buat, kami menyadari bahwa makalah ini masih
banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran
dari pembaca sangat kami harapkan guna perbaikan makalah berikutnya. Semoga
makalah ini berguna untuk kita semua. Aamiin.
DAFTAR
PUSTAKA
Musyrifah
Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo
Persada, 2005.
Saifullah, Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, cetakan pertama, 2010.
Swasono,
Sri Edi dan K.H.O. Gadjahnata, Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera
Selatan, Jakarta: Universitas Indonesia, 1986.
Syaefudin,
Machfud, dkk, Dinamika Peradaban Islam Perspektif Historis, Yogyakarta :
Pustaka Ilmu, 2003.
Yatim,
Badri, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2003.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajagrafindo
Persada, 2008.
BIODATA
PEMAKALAH
A. Pemakalah 1
Nama : Kuwatno
NIM. :
133511009
Jurusan/Prodi : Tadris Matematika
TTL. :
Purbalingga,
22 Oktober 1992
Pendidikan : SD Negeri 1 Tlahab
Kidul
SMP Negeri 3 Karangreja
MA Negeri Purbalingga
IAIN Walisongo Semarang
Alamat : Desa Tlahab Kidul Rt. 03/V kecamatan Karangreja, Kabupaten Purbalingga, kode pos 53357
Nomor Hp. :
0857-2650-4548
Email :
kuwatno22@gmail.com
Twitter :
@Tata_Maths
Blog :
http://tabahkuwatno.blogspot.com
B. Pemakalah 2
Nama : Rizki Fadhilah
NIM. :
133511033
Jurusan/Prodi : Tadris
Matematika/FITK
TTL. :
Boyolali, 16 Agustus 1996
Pendidikan : MI
Klumpit, MTsN Karanggede, SMAN Klego, IAIN Walisongo
Alamat :
Ledoksari, Klumpit, Karanggede,
Boyolali
Nomor Hp. :
085642407280
Email :
khariza123@gmail.com
Twitter :
@vykrianna_QQ
Blog :
rizkifadhilahrizfa.blogspot.com
Moto hidup : فخير
الأمور أوسطها
C. Pemakalah 3
Nama : Roudloh Muna Lia
NIM. : 123711039
Jurusan/Prodi : Tadris Kimia
TTL. : Pekalongan,
29 Juli 1994
Pendidikan : MI
Islamiyah Banyurip Ageng 01 Pekalongan, MTs Isthifaiyah Nahdliyah Banyurip
Ageng Pekalongan, MA
Salafiyah Simbnag Kulon
Pekalongan, IAIN
Walisongo Semarang.
Alamat asli : Banyurip Ageng No.94
Buaran Pekalongan.
Alamat Sekarang : Ma’had Walisongo
Semarang
Nomor Hp. :
085725156669
Email : aliamoetz@yahoo.co.id
D. Pemakalah 4
Nama : Siti Diah Andriani
NIM. : 133511035
TTL. : Blora, 27 April 1996
Pendidikan : SDN
Gunungan, MTs. Khozinatul Ulum Todanan, SMA Muh 05 Todanan
Alamat : Ds. Gunungan RT 1 RW 3, Kecamatan Todanan, Kabupaten Blora
No.
Hp. : 08998028401
E-mail : dyahsda@yahoo.co.id
[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajagrafindo
Persada, 2008, hlm. 201.
[2] Saifullah, Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010, hlm. 33.
[5] Saifullah, Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010, hlm. 34.
[7] Saifullah, Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010, hlm. 35-36.
[9] Saifullah, Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010, hlm. 36.
[10] Musyrifah Sunanto, Sejarah
Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005, hlm 30.
[11] Musyrifah Sunanto, Sejarah
Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005, hlm 33.
[12] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2003,
hlm 259.
[13] K.H.O. Gadjahnata & Sri Edi
Swasono, Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan, Jakarta:
Universitas Indonesia, 1986, hlm 7.
[14] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban
Islam Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005, hlm 43-44.
[15] Musyrifah Sunanto, Sejarah
Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005, hlm 56.
[16] Machfud Syaefudin, dkk, Dinamika
Peradaban Islam Perspektif Historis, Yogyakarta : Pustaka Ilmu, 2003, hlm.
303 -304.
[17] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
2003, hlm. 309-314.
[18] Machfud Syaefudin, dkk, Dinamika
Peradaban Islam Perspektif Historis, Yogyakarta : Pustaka Ilmu, 2003, hlm.
307.
[19] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
2003, hlm. 306.
[20] Musyrifah Sunanto, Sejarah
Peradaban Islam Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2005, hlm.
89.
[21] Machfud Syaefudin, dkk, Dinamika
Peradaban Islam Perspektif Historis, Yogyakarta : Pustaka Ilmu, 2003, hlm.
301-303.
[22] Machfud Syaefudin, dkk, Dinamika
Peradaban Islam Perspektif Historis, Yogyakarta : Pustaka Ilmu, 2003, hlm.
307-309.
[23]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Jakarta
: PT Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 308- 309.
[24] Musyrifah Sunanto, Sejarah
Peradaban Islam Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2005, hlm.
97.
[25] Machfud Syaefudin, dkk, Dinamika
Peradaban Islam Perspektif Historis, Yogyakarta : Pustaka Ilmu, 2003, hlm. 312-315.
0 comments
Post a Comment