Sejarang Perdaban Islam

MAKALAH
PERADABAN ISLAM INDONESIA
PASCA KEMERDEKAAN

Dipresentasikan dalam Mata Kuliah
Sejarah Peradaban Islam
yang diampu oleh: M. Rikza Chamami, MSI


Kuwatno                 NIM. 133511009
Rizki Fadilah          NIM. 133511033
Roudloh Muna Lia   NIM. 123711039
Siti Diah Andriani   NIM. 133511035

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
TAHUN 2014

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Secara bahasa peradaban berasal dari bahasa Arab yaitu Al-hadharah Al-Islamiyah sedangkan dalam bahasa Inggris berasal dari kata Civilization. Secara istilah peradaban dapat diartikan sebagai perkembangan kebudayaan dan kemajuan dalam berbagai bidang. Jadi peradaban Islam diartikan sebagai perkembangan kebudayaan dan kemajuan Islam dalam berbagai bidang.
Peradaban Islam di dunia secara dominan terjadi di Arab, karena pada masa itu pusat pemerintahan hanya satu dan untuk beberapa abad sangat kuat berada di Arab. Semua wilayah kekuasaan Islam menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa administrasi. Semua ungkapan-ungkapan budaya juga diekspresikan dalam bahasa Arab, meskipun ketika itu bangsa non-Arab juga sudah mulai berpartisipasi dalam membina suatu kebudayaan dan peradaban.
Peradaban Islam yang dibahas dalam kajian Islam hanya terbatas pada empat kawasan, yaitu kawasan pengaruh kebudayaan Arab (Timur Tengah dan Afrika Utara), kawasan pengaruh kebudayaan Persia (Iran dan negara-negara Islam Asia Tengah), kawasan pengaruh kebudayaan Turki, dan kawasan pengaruh kebudayaan India Islam. Bukan hanya terbatas pada empat kawasan, namun peradaban Islam di dunia juga terbagi dalam tiga periode, yaitu periode klasik (650-1250 M), periode pertengahan (1250-1800 M), dan periode modern (1800 sampai sekarang).
Peradaban Islam itu sendiri tidak hanya ada di negara Timur Tengah tetapi juga ada di negara Asia Tenggara misalnya Indonesia. Awal masuknya Islam ke Indonesia terjadi pada abad ke-7 namun juga ada yang berpendapat pada abad ke-13. Islam datang ke Indonesia dilakukan secara damai melalui beberapa saluran-saluran. Menurut Uka Tjandrasasmita, saluran-saluran Islamisasi ada enam, yaitu:[1]
1.    Saluran Perdagangan
Mengutip pendapat Tome Pires berkenaan dengan saluran Islamisasi  melalui perdagangan ini terjadi di pesisir pulau Jawa. Uka menyebutkan bahwa para pedagang muslim banyak yang bermukim di pesisir pulau Jawa yang penduduknya waktu itu masih kafir. Bukan hanya untuk berdagang mereka singgah di pulau Jawa tetapi juga untuk menyebarkan agama Islam, sehingga di beberapa tempat penguasa-penguasa Jawa banyak yang Islam.
2.    Saluran Tasawuf
Pengajar-pengajar tasawuf atau para sufi mengajarkan teosofi yang bercampur dengan ajaran yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Tasawuf bentuk Islam yang diajarkan kepada penduduk pribumi mempunyai persamaan dengan alam pikiran mereka yang sebelumnya menganut agama Hindhu sehingga agama Islam mudah untuk dimengerti dan diterima.
3.    Saluran Kesenian
Tokoh yang paling terkenal dalam menyebarkan Islam melalui kesenian adalah Sunan Kalijaga. Ia begitu mahir mementaskan wayang dan ia jadikan pertunjukkan wayang sebagai sarana dakwah. Ia tidak pernah meminta upah dari pertunjukkannya tetapi ia meminta para penonton untuk mengikutinya mengucap kalimat syahadat. Dengan begitu para penonton sudah masuk agama Islam.
4.    Saluran Politik
Para pedagang muslim menyebarkan Islam ada yang menggunakan cara memengaruhi Raja atau penguasa terlebih dahulu untuk masuk Islam. Kebanyakan rakyat masuk Islam setelah Rajanya memeluk Islam terlebih dahulu. Dengan begitu Islam akan mudah untuk menyebar.
5.    Saluran Pendidikan
Saluran ini di realisasikan dengan mendirikan pesantren dan pondok yang diselenggarakan  Ulama dan Kiai. Di pesantren atau pondok itu, calon ulama, guru agama, dan Kiai mendapat pendidikan agama. Setelah keluar dari pesantren mereka pulang ke kampung masing-masing kemudian berdakwah ke tempat tertentu untuk mengajarkan Islam.
6.    Saluran Perkawinan
Saluran ini dilakukan para pedagang muslim juga untuk menyebarkan agama Islam. Setelah mereka mempunyai keturunan, maka lingkungan Islam akan semakin luas.
Peradaban Islam di Indonesia berkembang lebih luas setelah agama Islam masuk ke Indonesia. Sebelum merdeka bentuk negara Indonesia berupa kerajaan-kerajaan. Kerajaan Islam pertamakali di Indonesia adalah kerajaan Samudra Pasai yang terletak di Pesisir Timur Laut Aceh. Kerajaan ini muncul pada abad ke-13 M dan didirikan oleh Malik al-Saleh. Setelah itu muncullah kerajaan-kerajaan Islam berikutnya.
Perkembangan selanjutnya, peradaban Islam masih melekat dengan perkembangan Indonesia sendiri. Islam turut berperan dalam perjuangan  melawan para penjajah di Indonesia sampai akhirnya Indonesia dapat mengusir para penjajah dan mencapai kemerdekaannya.
B.  Rumusan Masalah
1.    Bagaimana keadaan Islam di Indonesia dalam masa revolusi?
2.    Bagaimana peran Islam dalam kemerdekaan?
3.    Bagaimana korelasi peradaban Islam dan negara pancasila?
C.  Tujuan
1.    Mengetahui keadaan Islam di Indonesia dalam masa revolusi
2.    Mengetahui peran Islam dalam memperjuangkan kemerdekaan
3.    Mengetahui korelasi peradaban Islam dan negara pancasila

BAB II
PEMBAHASAN
A.  Islam Indonesia dalam Masa Revolusi
Setelah kemerdekaan, yang diperjuangkan dan telah banyak mengorbankan jiwa umat Islam, namun posisi umat Islam dalam percaturan politik belum cukup menggembirakan. Hal ini nampak di dalam berbagai lembaga politik seperti BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), umat Islam hanya terwakili sekirat 25%, sedangkan dalam PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) lebih sedikit lagi yaitu hanya sekitar 12% saja dari seluruh jumlah anggota. Hanya dalam Panitia Sembilan umat Islam lebih dominan.[2] Padahal di kalangan rakyat sendiri, jauh sebelum kemerdekaan Indonesia,  telah lahir beberapa organisasi massa Islam,  seperti Muhammadiyah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tahun 1908, Sarekat Dagang Islam pada tahun 1908 (pada tahun 1911 dirubah menjadi Sarekat Islam), NU (Nahdatul Ulama) pada tahun 1926, dan organisasi-organisasi Islam yang lain.
Pada waktu proklamasi kemerdekaan tanggal  17 Agustus 1945, Piagam Jakarta sama sekali tidak digunakan. Soekarno-Hatta justru membuat naskah teks proklamasi yang lebih singkat, karena ditulis dalam kondisi tergesa-gesa. Perlu kita ketahui juga bahwa menjelang hari kemerdekaan, setelah Jepang tidak dapat menghindari kekalahannya dari tentara Sekutu, BPUPKI ditingkatkan menjadi PPKI. Berbeda dengan BPUPKI yang khusus untuk pulau Jawa, PPKI merupakan perwakilan daerah seluruh kepulauan Indonesia. Perubahan itu menyebabkan banyak anggota BPUPKI yang tidak muncul lagi, termasuk beberapa orang anggota Panitia Sembilan. Presentase Nasionalis Islam pun merosot tajam.[3]
Dalam suasana seperti itu, M. hatta dalam sidang PPKI setelah kemerdekaan, beliau berhasil dengan mudah meyakinkan aggota-anggota PPKI bahwa hanya satu konstitusi “sekular” yang mempunyai peluang untuk diterima oleh mayoritas rakyat Indonesia. Tujuan kata dalam anak kalimat yang tercantum dalam sila Pertama Pancasila dengan segala konsekuensinya dihapus dari konstitusi.
Oleh golongan nasionalis “sekular”, keputusan itu dianggap sebagai gentlemen’s agrement kedua yang menghapuskan Piagam Jakarta sebagai  gentlemen’s agrement pertama. Sementara itu, keputusan yang sama dipandang oleh golongan nasionalis Islam sebagai bentuk penghianatan dari gentlemen’s agrement itu sendiri. Bisa dibayangkan bagaimana kecewanya para nasionalis Islam pada saat itu ketika menggetahui bahwa, Indonesia Merdeka yang mereka perjuangkan dengan penuh pengorbanan itu, jangankan berdasarkan Islam, Piagam Jakarta pun tidak.[4]
Dengan demikian, jelas bahwa keputusan tentang penghapusan tujuh kata dari Piagam Jakarta itu sama sekali tidak mengakhiri konflik ideologi yang telah berlangsung lama pada masa sebelum kemerdekaan.
Sebenarnya dalam konsep “Piagam Jakarta”, yang dihasilkan oleh Panitia Sembilan pada tanggal 22 Juni 1945, terdapat  jaminan  untuk menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluk Islam, tetapi satu hari setelah kemerdekaan (tanggal 18 Agustus 1945) konsep tersebut di-“coret” dan diganti hanya dengan kalimat ”Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sebenarnya suatu kalimat yang sangat netral, namun memiliki banyak makna, menguntungkan bagi non-muslim dan kelompok nasionalis, tetapi cukup merugikan dalam artian polotik bagi umat Islam. Oleh karena alasan bahwa Indonesia sedang berjuang untuk menegakkan kemerdekaannya, sehingga umat Islam tidak keberatan dengan adanya “pencoretan” tersebut, tetapi akan berjuang untuk mengembalikanya pada waktu dan kondisi yang sudah lebih baik.[5] Untuk menghibur umat Islam yang dikecewakan oleh ditolaknya Islam sebagai dasar negara, pada tanggal 3 Januari 1946 dibentuk Kementerian Agama (dulu bernama Departemen Agama). Bagaimanapun, sebenarnya harus diakui bahwa kementerian ini mengakomodir kepentingan umat Islam. Hal ini tampak jelas dari kenyataan bahwa Kementerian Agama mengelola beberapa aspek kehidupan keagamaan sebagaimana berikut:
a.    Pendidikan Agama, seperti Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, dan perguruan tinggi seperti IAIN dan STAIN
b.    Pengadilan Agama, mulai dari Pengadilan Agama tingkat Kabupaten/Kota sampai Pengadilan Tinggi Agama (PTA)
c.    Perjalanan haji
d.   Urusan Agama, mulai dari pencatatan nikah, talak, rujuk, sampai pembinaan bangunan masjid, zakat, waqa, infak, dan shadaqah.
Meskipun Kementerian Agama dibentuk, namun sebenarnya hal ini tidak meredakan konflik ideologi pada massa sesudahnya. Setelah Wakil Preseiden mengeluarkan maklumat No.X tentang diperkenankanya partai-partai politik, maka tiga kekuatan yang sebelumnya bertikai menjadi muncul kembali.[6] Dari  aspek politik, partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), yang didirikan pada tanggal 7 November 1945 melalui Kongres Umat Islam di Yogyakarta, yang menjadi wadah aspirasi umat Islam ini, pernah menjadi partai politik yang sangat kuat, dengan 49 kursi di Parlemen dari 236 orang keseluruhan anggota parlemen, bahkan Masyumi juga memenangkan pemerolehan suara di hampir seluruh provinsi di Indonesia. Masyumi masuk hampir di semua kabinet dan bahkan pernah memimpin kabinet, misalnya kabinet Natsir (1950-1951), kabinet Sukiman (1951-1952), dan kabinet Burhanuddin Harahap (1955-1956). Oleh karena adanya konflik internal, partai Islam yang begitu kuat ini harus kehilangan sebagian kekuatannya, yaitu dengan keluarnya NU (Nahdlatul Ulama) dan PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia) dari  Masyumi. Selain itu, tekanan dari luar dan perbedaan visi politik dengan penguasa, yakni Soekarno, akhirnya Masyumi dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960.[7]
Partai Sosialis yang mengkristalisasikan falsafah hidup Marxis  berdiri pada tanggal 17 Desember 1945 dan PNI (Partai Nasional Indonesia) yang mewadahi cara hidup nasionalis “sekular” pun muncul pada tanggal 29 Januari 1946. Partai-partai yang berdiri sesudah itu dapat dikategorikan ke dalam tiga aliran utama ideologi yang terdapat di Indonesia yaitu Masyumi, Partai Sosialis dan PNI. Partai-partai Islam setelah merdeka selain Masyumi adalah PSII yang keluar dari Masyumi tahun 1947, Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), dan NU yang keluar dari masyumi tahun 1952.[8]
Untuk memperjuangkan Islam dan melawan hegemoni kekuatan tirani Soekarno, terdapat serangkaian perlawanan, mulai dari yang inkonstitusional (seperti pemberontakan DI/TII di Jawa Barat di bawah pimpinan Kartosuwiryo, di Aceh pimpinan Daud Beureueh, DI/TII Sulawesi Selatan di  bawah pimpinan Kahar Muzakkar, dan kemudian PRRI di Sumatra Tengah, serta PERMESTA di Sulawesi Selatan. Namun semuanya secara fisik mengalami kekalahan, sekalipun mungkin ada ide-idenya yang kemudian senantiasa hidup dan diperjuangkan dalam bentuk lain.[9]

B.  Peran Islam dalam Kemerdekaan
Peran Islam dalam kemerdekaan secara garis besar dapat dibagi menjadi peran pada masa penjajahan Belanda, peran pada masa penjajahan Jepang, dan peran dalam mempertahankan kemerdekaan.
1.    Masa Penjajahan Belanda
Pada zaman kerajaan-kerajaan Islam para ulama berperan sebagai penasehat raja-raja (sultan) untuk menentukan langkah-langkah politiknya. Namun ketika sultan-sultan sudah tidak mempunyai kekuatan politik lagi, maka para ulama sendiri yang berperan  menggalang rakyat yang tidak punya raja karena rajanya sudah dikalahkan oleh penjajah. Ulama atas nama Islam menggalang kekuatan untuk melawan penjajah. Peran politik ulama telah menjadi pelajaran politik umat Islam di Indonesia dan telah menumbuhkan rasa cinta tanah air dan anti kolonial.[10]
Meluasnya penjajahan Belanda mendorong para kiai dan ulama untuk tampil sebagai pemimpin dan menghimpun rakyat dengan cara menghubungi beberapa pesantren. Melalui khutbah-khutbahnya mereka membantu rakyat untuk melepaskan diri dari kekejaman Belanda. Mereka mendapatkan dukungan secara meluas, namun karena hanya bersifat lokal gerakan itu kurang terkoordinasi dan akhirnya dengan cepat dapat ditumpas oleh Belanda.
Salah satu ulama yang berperan dalam usaha melawan penjajahan adalah Kh. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah  dan Kh. Hasyim Asy’ari dengan Nahdhotul Ulama. Walaupun dari latar belakang yang berbeda namun tujuan mereka sama yakni ingin menjadikan Islam sebagai “landasan ideologis” dan selanjutnya menjadikan Islam sebagai perjuangan politik untuk melawan kekuasaan kolonial; menjadikan Islam sebagai sarana dalam mengangkat harkat diri berhadapan dengan kekuasaan kolonial.[11]
Selain itu munculnya gagasan nasionalisme yang diikuti dengan berdirinya partai-partai politik merupakan modal utama umat Islam dalam perjuangannya untuk mewujudkan negara merdeka yang bebas dari pengaruh politik barat. Partai politik besar yang menentang penjajahan di Indonesia adalah Sarekat Islam, didirkan tahun 1912 di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto, partai ini merupakan kelanjutan dari Sarekat Dagang Islam yang didirikan oleh H. Samanhudi tahun 1911. Sebagai organisasi politik pelopor nasionalisme Indonesia, SI pada dekade pertama adalah organisasi politik besar yang merekrut anggotanya dari berbagai kelas dan aliran yang ada di Indonesia. Waktu itu, ideologi bangsa memang belum beragam, semua bertekad ingin mencapai kemerdekaan. Ideologi mereka adalah persatuan dan anti-kolonialisme.[12] Pada zaman kolonialisme juga dibentuk Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang merupakan himpunan umat muslim indonesia yang dapat mempersatukan semua kekuatan kaum muslimin.
Kelahiran organisasi-organisasi Islam memberikan suasana yang hidup dan teratur, sehingga memberi citra yang baik kepada kehidupan umat Islam sehingga pemerintah kolonial menjadi segan karenanya.
2.    Masa penjajahan Jepang
Masa penjajahan Jepang di Indonesia jauh lebih kejam dari penjajahan Belanda. Jepang ingin menghapus Islam dan menggantinya dengan agama Shinto. Untuk mewujudkan tujuannya, Jepang memanfaatkan para pemimpin Islam. Jepang memanfaatkannya untuk menyebarkan kebudayaan Jepang dengan cara mendoktrin ulama melalui latihan-latihan. Dalam latihan-latihan tersebut para ulama diindoktrinasi dengan ide-ide Jepang dan diusahakan juga untuk menghapuskan ide-ide pan-Islamisme dengan pan-Asia dan Jepang.
Pada masa penjajahan Jepang dibentuklah Masyumi pada tanggal 24 Oktober 1943 untuk menggantikan MIAI karena Jepang tidak suka dengan MIAI yang sulit untuk dikendalikan. Dalam Masyumi semua organisasi muslim tergabung. Basis organisasinya adalah semua organisasi yang tergabung di MIAI, Muhammadiyah, NU dan Persatuan Islam (Persis). Pemerintah pendudukan Jepang mengizinkan pula untuk mengadakan inti kekuatan Islam yang bernama Hisbullah.[13]
Ternyata bangsa Indonesia dan umat Islam cepat menyadari bahwa Jepang ingin mempunyai tujuan buruk dan ingin mengahpuskan Islam dan menggantinya dengan Shinto. Akhirnya muslim Indonesia melakukan perlawanan dengan cara keras maupun lunak. Sikap keras dengan perang diperlihatkan oleh ulama secara individual. Sikap lunak diperlihatkan oleh pemimpin-pemimpin muslim melalui organisasi-organisasi.
Cara keras yang diperlihatkan ulama-ulama secara individual menimbulkan pemberontakan lokal terhadap Jepang seperti pemberontakan Teungku Abdul Jalil di Aceh, pemberontakan pemuda Muhammadiyah di Pontianak, pemberontakan di Indramayu, di Blitar, dan lain sebagainya.
Dari pemerontakan-pemberontakan itu dapat disimpulkan bahwa motif pemberontakan itu pada hakikatnya selain motif kekejaman Jepang tetapi juga motif membela agama Islam.
Selanjutnya sikap para pemimpin muslim dan para ulama yang sudah diarahkan oleh Jepang untuk membentuk organisasi buatan Jepang dengan maksud dapat menjadi alat pencapai tujuannya, ternyata telah bertolak belakang dengan harapan Jepang. Kelak organisasi itu akan meningkatkan semangat kebangsaan dan menyelamatkan Islam dari kerusakan. Organisai itu menggunakan kesempatan yang diperoleh untuk memperkuat persatuan kaum muslimin Indonesia dalam rangka mempersiapkan kemerdekaan dan menyebarkan ajaran-ajaran agama Islam sekaligus menghilangkan pengaruh Shinto yang telah disebarkan Jepang.
Sebagai contoh, ketika Jepang membentuk Hisbullah dengan maksud membantu Jepang untuk jihad, ternyata para ulama memberontak. Dan kemudian Hisbullah yang dilatih dan dipersiapkan oleh Jepang justru membentuk korp militer untuk kepentingan kemerdekaan Indonesia. Demikian juga Masyumi. Dalam sebuah konferensi yang diadakan di Jakarta tanggal 12 oktober 1944 keluar pernyataan “mempersiapkan masyarakat muslim indonesia agar siap menerima kemerdekaan”. Pernyataan ini diikuti oleh cabang-cabang di seluruh Indonesia. Pada tanggal 24 oktober 1944 pemuda-pemuda muslim memutuskan “mempersiapkan diri dengan sungguh-sungguh dan sukarela untuk berjuang demi lahirnya kemerdekaan tanah air Indonesia, bangsa, dan agama.”[14]
Di kala proklamasi dicanangkan, umat Islam sedang berada dalam persatuan yang kokoh. Organisasi Masyumi cukup dijadikan alat untuk membangkitkan segenap kekuatan kaum muslimin melakukan perebutan kekuasaan dari Jepang dan mempertahankannya dari Belanda.
Karena persatuan kaum muslimin yang kukuh dan kuat dan muslim yang bersatu, bersatu pula dengan kaum pergerakan nasional , mampu dalam waktu yang singkat menyusun rancangan UUD 1945. Dalam perancangan UUD 1945 terdapat beberapa tokoh yang mewakili Isam, antara lain Abdul Kahar Muzakkir, Wachid Hasyim, Agus Salim, dan Abikusno Tjokrosujoso.
3.  Mempertahankan kemerdekaan
Setelah proklamasi kemerdekaan diproklamirkan, bukan berarti Indonesia telah bebas secara menyeluruh dari ancaman-ancaman penjajah. Kolonial Belanda dan Jepang masih mengancam keutuhan NKRI. Selain itu setelah kmerdekaan terjadi status quo (kekosongan kekuasaan) yang tambah mempersulit keadaan.
Ketika itu lah bung Tomo sebagai pemimpin pemberontakan rakyat Indonesia, makin gencar menggelorakan semangat rakyat dan menyerukan untuk tetap siaga, tak henti-hentinya mengobarkan semangat rakyat dengan memekikkan “Allahuakbar”.
Barisan-barisan yang berusaha untuk mempertahankan kemerdekaan berasal dari bermacam-macam kelompok dan daerah. Antara lain API (Angkatan Pemuda Indonesia), BARA (Barisan Rakyat Indonesia), BBI (Barisan Buruh Indonesia). Sedangkan di Jawa lahir Hisbullah, Sabilillah, dan lain-lain. Di Aceh ada PRI (Pemuda Republik Indonesia) yang dipimpin oleh A. hasyimi. Selain organisasi besar yang berbasis Islam ada pula barisan Kiai, barisan Sabil, Mujahidin, dan lain sebagainya.[15]
C.  Peradaban Islam dan Negara Pancasila
1. Bidang Pendidikan
Bagi semua umat manusia, pendidikan merupakan persoalan penting dalam hidup dan kehidupan. Pendidikan selalu menjadi tumpuan harapan untuk mengembangkan individu dan masyarakat. Pendidikan merupakan wahana, sarana, dan proses, serta alat untuk mentransfer warisan umat dari nenek moyang kepada anak cucu dan dari orang tua kepada anak. Persoalan pendidikan merupakan faktor penentu perkembangan umat, harus menjadi prioritas utama untuk dilaksanakan,sebab sampai saat ini masyarakat Muslim sangat terbelakang di bidang pendidikan.
Sistem pendidikan Islam di Indonesia merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional Indonesia. Pendidikan Islam di Indonesia diberikan pada tiga sektor, yaitu non formal, informal, dan formal. Yang bersifat non formal, biasanya diberikan di masjid-masjid, surau, dan langgar. Kegiatan utama yang diberikan pada sektor ini adalah penidikan al-Quran, tajwid, dan ibadah seperti wudlu dan shalat. Pendidikan in formal, diberikan di rumah dengan menekankan pada pengajaran individu, khusunya dalam belajar al-Quran sesuai dengan tingkatan pelajar. Sedangkan sistem pendidikan formal diberikan di sekolah, masyarakat, dan pesantren. Bagi lembaga-lembaga organisasi Islam yang mengelola lembaga pendidikan Islam, kecuali pesantren, mempergunakan kurikulum pemerintah dalam lembaga pendidikan mereka, dengan memberi penekanan sedikit pada pengajaran agama Islam. Jadi, dapat dikatakan bahwa madrasah dikategorikan ke dalam dua bentuk kurikulum, yaitu madrasah yang menyediakan ilmu-ilmu keIslaman dan madrasah yang menyediakan ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu keIslaman.[16]
Setelah Indonesia merdeka, terutama setelah berdirinya Departemen Agama, persoalan pendidikan agama Islam mulai mendapat perhatian lebih serius. Badan pekerja Komite Nasional Pusat dalam bulan Desember 1945 menganjurkan agar pendidikan madrasah diteruskan. Badan ini juga mendesak pemerintah agar memberikan bantuan kepada madrasah. Ketika mendapat desakan seperti itu, Departemen Agama dengan segera membentuk seksi khusus yang menyusun pelajaran dan pendidikan agama Islam dan Kristen, mengawasi pengangkatan guru-guru agama, dan mengawasi pendidikan agama. Pada tahun 1946, Departemen Agama mengadakan latihan 90 guru agama, 45 diantaranya kemudian diangkat  sebagai guru agama. Pada tahun 1948, didirikanlah sekolah guru dan hakim Islam di Solo.
Haji Mahmud Yunus ,seorang lulusan Kairo yang di zaman Belanda memimpin Sekolah Normal Islam di Padang, menyusun rencana pembangunan pendidikan Islam. Ketika itu ia mengepalai seksi Islam dari Kantor agama propinsi. Dalam rencananya, Ibtidaiyah selama 6 tahun, Tsanawiyah pertama 4 tahun dan Tsanawiyah atas 4 tahun.
Akan tetapi, semua yang sudah dirintis itu, mengalami kemandegan karena terjadinya aksi militer Belanda kedua. Setelah revolusi selesai, usaha untuk mengkoordinasi sekolah-sekolah agama dimulai kembali, bukan saja untuk Jawa dan Sumatra, melainkan seluruh Indonesia. Setelah itu, banyak lembaga pendidikan agama yang didirikan, seperti Madrasah Ibtidaiyah (6 tahun), Tsanawiyah (4 tahun), Aliyah 3 tahun, Sekolah Guru Agama Islam (5 tahun bagi lulusan sekolah dasar baik umum maupun agama, 2 tahun bagi lulusan SMP atau tsanawiyah), Sekolah Guru dan Hakim Agama Islam / SGHA (4 tahun bagi lulusan SMP atau tsanawiyah). Dua sekolah terakhir mengalami perubahan pada tahun 1953. Sedangkan SGHA dihapuskan tahun 1954 dan digantikan dengan Pendidikan Hakim Islam Negeri.
Untuk jenjang Perguruan Tinggi juga mendapat perhatian dari Kementrian Agma, yaitu mulai tahun 1950. Pada tanggal 26 September 1951 secara resmi dibuka perguruan tinggi dengan nama Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di bawah pengawasan kementrian agama. Pada tahun 1957, di Jakarta didirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA). Pada tahun 1960 , PTAIN dan ADIA disatukan menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN), juga di bawah kementrian agama.
IAIN ini bermula dengan dua fakultas di Yogyakarta dan dua di Jakarta, tetapi segera berkembang sehingga masing-masing mempunyai 4 fakultas : Ushuluddin yang menekankan segi-segi ilmu agama Islam yang bersifat spekulatif, seperti filsafat, tasawuf, perbandingan agama dan dakwah; syariah yang menekankan aspek-aspek praktis dari agama, yurisprudensi, tafsir, pengetahuan hadits, dan sebagainya, tarbiyah (pendidikan) menekankan latihan untuk guru agama. Adab atau ilmu kemanusiaan untuk spesialisasi sejarah Islam serta Bahasa Arab secara khusus. Pada masa selanjutnya lahir satu fakultas baru, yaitu Fakultas Dakwah.
IAIN ini terus berkembnag pesat. Pada tahun 1992 ada 14 buah IAIN di seluruh  Indonesia. Juga bermula dari Jakarta dan Yogyakarta, pada awal tahun 1980-an dibuka Program Pasca Sarjana IAIN. Sampai tahun 1992, Progam Pasca Sarjana IAIN sudah mengeluarkan puluhan orang doktor.[17]
2. Bidang Politik
Sejak ditumpasnya peristiwa “G30 S/PKI” pada tanggal 30 Oktober 1965 M., bangsa Indonesia telah memasuki fase baru yang dinamakan Orde Baru.Pada masa orde baru ini terdapat peristiwa dekrit 5 Juli 1959, di samping mengukuhkan kembali UUD 1945 dan pembubaran Majlis Konstituante, juga menandai datangnya suatu sistem politik yang disebt Demokrasi Terpimpin.[18]
Masa demokrasi terpimpin yang menimbulkan banyak kekacauan dan ketegangan politik serta keruntuhan ekonomi bagi umat Islam merupakan tahun-tahun kekecewaan dan frustasi. Akan tetapi masa yang dipandang buruk itu juga membawa hikmah sendiri bagi mereka. Sampai tahap tertentu,  perhatian telah dialihkan dari pihak politik kepada masalah-masalah pendidikan, pengajaran agama, dakwah Islam, latihan kepemimpinan, dan penulisan bahan bacaan. Dalam hal ini, Kementrian Agama mulai memainkan suatu peranan penting.[19]
Kemudian setelah fase orde baru berakhir, muncul pemerintahan pasca orde baru yang demokratis. Hal ini tercermin dari kebebasan mendirikan partai politik. Tercatat ada 48 partai baru yang mengikuti Pemilu 1999, termasuk di dalamnya partai-partai Islam. Keadaan ini juga mempengaruhi ulama untuk kembali aktif di dunia politik dengan terjun langsung untuk memenangkan partai tertentu sesuai dengan posisinya.[20]
Politik memang mampu membuat ulama-ulama terpolariasi sedemikian rupa. Kampanye Pemilu1999 misalnya, diwarnai dengan menghamburnya para kiai untuk membela partai politiknya masing-masing sesuai dengan basis keulamaan mereka. Ulama-ulama NU terdapat pada partai PKB,yang merupakan satu-satunya partai yang direstui PBNU. Secara individu, para Kiai NU mendirikan partai-partai seperti PKU yang didirikan K.H. Yusuf Hasyim, PNU oleh K.H.Syukron Makmun, dan yang terpenting tentu PPP yang banyak di dukung ulama NU seperti K.H Alawi Muhammad, K.H Maimun Zubair, serta kebanyakan ulama Betawi yang sangat berpengaruh pada kemenangan PPP di Jakarta.
Kehadiran ulama dalam politik seharusnya berdampak positif, dalam pengeertian memberikan sumbangan bagi terciptanya bangunan struktur politik yang bermoral, karena ualma adalah simbol moral. Namun, ketika ulama itu terpolarisasi sedemikian rupa, sehingga sering antara seorang ulama dengan ulama lain saling berhadapan dalam membela partainya masing-masing. Kondisi ini akan menimbulkan perpecahan dan dampaknya membingungkan rakyat, paling tidak akan memperlemah kekuatan umat Islam sendiri yang akhirnya sering dimanfaatkan oleh golongan (partai) lain.
Kondisi politik pada masa pasca kemerdekaan tidak menimbulkan perdebatan politik ideologis terbuka pada saat itu, hubungan politik yang relatif harmonis antara kelompok Islam dan nasionalis benar-benar tercipta. Ungkapan yang mencoba mempersoalkan Pancasila secara terang-terangan dari para pemimpin politik Islam juga jarang terjadi. Bahkan Mohammad Natsir, ketua umum Partai Masyumi yang di masa-masa sebelumnya giat mengkampanyekan gagasan negara Islam, pada sekitar 1951 M menyatakan bahwa karena dimasukkannya prinsip “percaya kepada Tuhan” ke dalam Pancasila, Indonesia tidak menyingkirkan agama dari masalah negara. Kenyataan ini menunjukkan perkembangan hubungan politik antara Islam dan negara pada dasarnya relatif baik. Penerimaan Pacasila sebagai ideologi negara tidak sanggup sebagai perwujudan keinginan untuk memisahkan agama (Islam) dari negara. Bahkan dengan dimasukkannya pernyataan monoteistik “Ketuhanan Yang Maha Esa” ke dalam dasar negara, Indonesia sudah dipandang seolah-olah sebuah “negara Islam”. Hal ini merupakan sebuah ilustrasi yang dapat menggambarkan sikap para pemimpin Muslim tentang penerimaan mereka terhadap pancasila.
Hubungan politik yang harmonis antara Islam dan negara seolah-olah berakhir dengan memanasnya situasi politik tanah air karena persiapan pemilu yang direncanakan pada 1955 M. Perkembangan ini mengakibatkan kesepakatan ideologis yang dicapai sehari setelah proklamasi mulai pudar. Karean alasan ini, para elit politik negara terlibat dalam perdebatan ideologis-politik mengenai bentuk negara dan kerangka konstitusionalnya. Dengan mengangkat kembali isu ideologi negara, kedua kelompok politik berlomba untuk memperebutkan jumlah kursi di Majlis Konstituante, dan dengan sendirinya semakin mempertegas politik mereka masing-masing.[21]
3. Bidang Budaya
Produk kesenian Islam di Indonesia sebenarnya sangat minim apabila dibandingkan dengan produk kesenian di negara Islam yang lain. Hal itu, karena semangat yang mendorong Muslim di negara lain untuk menciptakan pekerjaan besar tidak muncul di Indonesia. Kalaupun ada, biasanya hanya berasal dari pengaruh luar atau hanya berupa peniruan yang tidak begitu sempurna. Diantara penyebab kesenian Islam tidak begitu berkembang adalah :
a. Islam datang ke Indonesia akibat dampak kehancuran Baghdad, sehingga para pedagang ataupun ulama yang datang pada saat itu lebih memikirkan keselamatan mereka.
b. Di Indonesia, terutama di pulau Jawa pada saat Islam datang sudah memiliki peradaban asli yang dipengaruhi oleh budaya Hindu dan Budha, yang sudah mengakar kuat terutama di pusat pemerintahan. Hal itu yang menyebabkan seni Islam harus menyesuaikan diri.
c. Mayoritas umat Islam pendatang adalah pendatang yang berorientasi mencari keuntungan. Kalaupun ada ulama yang tidak berorientasi pada hal itu, mereka berdakwah dan tidak menetap pada tempat tertentu, sehingga mereka tidak berpikir untuk membuat sesuatu yang abadi.
d. Ketika ada usaha kaum pribumi untuk membangun masjid, usaha itu dihancurkan oleh orang Barat yang sejak semula memang sudah bersikap memusuhi terhadap umat Islam.
e. Islam yang datang ke Indonesia bercorak Islam tasawuf, sehingga lebih mementingkan Islam rohani daripada masalah duniawi.
f. Nusantara adalah negeri yang merupakan jalur perdagangan internasional, sehingga penduduknya lebih mementingkan masalah perdagangan daripada kesenian.
g. Islam datang dengan jalan damai. Asalkan tidak melanggar aturan agama, maka kesenian tidak dilarang. Karena itulah aspek seni dan budaya yang ada di Indonesia tidak sehebat di negara Islam yang lain.
Walaupun terdapat faktor-faktor yang meghambat perkembangan seni budaya Indonesia, akan tetapi ada beberapa produk budaya yang sangat penting.
Islam datang ke Indonesia lengkap dengan seni dan kebudayaannya, maka Islam Indonesia tidak lepas dari budaya Arab. Permulaan berkembangnya Islam di Indonesia, dirasakan demikian sulit untuk mengantisipasi adanya perbedaan antara ajaran Islam dengan kebudayaan Arab.Tumbuh berkembangnya Islam di Indonesia sedemikian rupa oleh para juru dakwah melalui berbagai macam cara, baik melalui bahasa maupun budaya seperti halnya dilakukan oleh para walisongo di Pulau Jawa. Para walisongo tersebut dengan segala kehebatannya dapat menerapkan ajaran dengan melalui bahasa dan budaya daerah setempat, sehingga masyarakat secara tidak sengaja dapat memperoleh nilai-nilai  Islam yang pada akhirnya dapat mengemas dan berubah menjadi adat istiadat dalam kehidupan sehari-hari, dan secara langsung hal ini juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan bangsa Indonesia , misalnya setiap diadakan upacara-upacara adat banyak menggunakan bahasa Arab (al-Quran), yang sudah secara langsung masuk ke dalam bahasa daerah dan Indonesia, hal tersebut tidak disadari bahwa sebenarnya yang dilakasanakan tidak lain adalah ajaran-ajaran Islam.[22]
Berkaitan dengan nilai-nilai Islam dalam kebudayaan Indonesia yang lain, juga dapat terlihat dari ciri dan corak bangunan masjid di Indonesia yang juga mengalami tumbuh kembang, baik terdiri dari masjid-masjid tua maupun yang baru, misalnya masjid-masjid yang dibangun oleh Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, pada umumnya hampir mirip dengan bentuk joglo yang berseni budaya Jawa. Masjid yang lain seperti masjid Agung Banten (bangunan menara dan madrasah), masjid menara Kudus (bangunan bagian depan berwujud pintu gerbang dan diubah dengan gaya arsitektur kayu Indonesia), masjid Sumatra Barat (pembangunan puncak tumbang dengan mahkota kubah), itu semua merupakan contoh masjid tua yang kemudian diperbaiki dengan ditambah konstruksi baru atau mengganti tiang-tiang kayu dengan tiang batu atau beton, lantai batu dengan ubin dan dinding sekat dengan tembok kayu. Masjid di Indonesia mempunyai komponen yaitu kubah, menara, mihrab, dan mimbar.
Peran pemerintah dalam perkembangan Islam pasca kemerdekaan :
a. Hari-hari besar Islam, seperti 1 Muharam, Maulid Nabi, nuzul al-Quran, Isra’ Mi’raj, Idul Fitri, dan Idul Adha.
b. Mendirikan Departemen Agama RI pada 3 Januari 1945.
Adapun tujuan Departemen Agama yang dirumuskan pada tahun 1967 adalah sebagai berikut :
1)   Mengurus dan mengatur pendidikan agama di sekolah-sekolah, serta membimbing perguruan-perguruan agama.
2)   Mengikuti dan memperhatikan hal yang bersangkutan dengan agama dan keagamaan.
3)   Memberikan penerangan dan penyuluhan agama.
4)   Mengurus dan mengatur peradilan agama serta menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan hukum agama.
5)   Mengurus dan memperkembangkan IAIN, perguruan tinggi agama swasta dan pesanten luhur, serta mengurus dan mengawasi pendidikan agama pada perguruan-perguruan tinggi,
6)   Mengatur, mengurus, dan mengawasi penyelenggaraan ibadah haji.[23]
c. Membentuk Majlis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1975 M dengan struktur yang menyebar sampai ke tingkat desa. Masjid Ulama Indonesia berfungsi :
1)   Memberikan fatwa dan nasehat mengenai masalah keagamaan dan kemasyrakatan kepada pemerintah dan umat Islam , dalam usaha meningkatkan ketahanan nasional.
2)   Mempererat ukhuwah Islamiyah dan memelihara serta meningkatkan suasana kerukunan antar umat beragama dalm mewujudkan persatuan dan ketahanan nasional.
3)   Mewakili umat Islam dalam konsultasi umat beragama.
4)   Penghubung antara ulama dan umara (pemerintah) serta menjadi penerjemah timbal balik antara peerintah dan umat guna menyukseskan pembangunan nasional.
d. Menyelenggarakan pengurusan ibadah haji dan tanah air.
Semenjak zaman penjajahan Belanda,umat Islam Indonesia ingin mempunyai kapal laut untuk dipergunakan dalam pelaksanaan perjalanan ibadah haji. Iuran dikumpulkan, saham diedarkan, tetapi selama zaman jajahan keinginan ini tidak terwujud. Setelah Indonesia merdeka, usaha ini dilanjutkan. Pada tahun 1950 sebuah Yayasan Perjalanan Haji Indonesia didirikan. Pemerintah memberikan kuasa kepada yayasan itu untuk menyelenggarakan perjalanan haji. Sebuah bank, Bank Haji Indonesia , dan sebuah perusahaan kapal, Pelayaran Muslimin Indonesia didirikan.
e. Menetapkan UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
f. Melembagakan MTQ secara nasional dari tingkat pusat sampai ke tingkat desa.
g. Mendirikan dan meresmikan masjid, serta Badan Amil Zakat (BAZ).
h. Ikut seta dalam memberikan kerukunan hidup umat beragama baik intern umat beragama serta antar umat beragama dan pemerintah.
i. Memberlakukan secara yuridis-formal sebagian hukum Islam, yaitu penyelenggaraan Peradilan Islam Indonesia, dengan undang-undang pada tahun 1989 M.
4. Bidang Kesenian
Kesenian Islam yang ada di Indonesia adalah sebagai berikut:
a.    Batu Nisan
Kebudayaan Islam dalam bidang seni, mula-mula masuk ke Indonesia dalam bentuk batu nisan. Batunya terdiri dari pualam putih diukur dengan tulisan Arab yang sangat indah berisikan ayat al-Quran dan keterangan tentang orang yang dimakamkan serta hari dan tahun wafatnya. Makam-makam yang serupa dijumpai pula di Jawa, seperti makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik.
b.    Arsitektur (Seni Bangun)
Arsitektur Indonesia setelah merdeka dan dapat berhubungan dengan negara lain, maka unsur lama, yang merupakan peniruan dari seni arsitektur Hindu-Budha  secara berangsur-angsur hilang. Pada masa peralihan ke arah corak baru masih sering terlihat perpaduan antara keduanya, terutama pada atapnya (seperti corak lama), yaitu jumlah atapnya masih tumpang dua, yang ketiga diganti dengan kubah peniruan dari masjid Timur Tengah atau India. Pada tahap selanjutnya, atap tumpang ditinggalkan dan ciri masjid menjadi kubah, misalnya Masjid Kutaraja yang didirikan oleh Belanda tahun 1878. Kemudian masjid yang menyerupai Taj Mahal India adalah Masjid Syuhada di Yogyakarta dan Masjid Al-Azhar di Jakarta.[24]
c.    Seni Sastra
Bidang sastra Indonesia banyak pengaruhnya dari Persia, antara lain buku-buku yang kemudian disadur ke dalam bahasa Indonesia Kalilah wa Dimmah, Bayam Budiman, Abu Nawas, dan Kisah Seribu Malam. Hampir semua cerita salinan itu dinamakan hikayat dan dimulai dengan nama Allah dan shalawat nabi.
5. Bidang Ekonomi
Indonesia sedikit tertinggal jika dibandingkan dengan negara Muslim lain dalam pendirian Bank  Syariah sebagai bentuk awal pertumbuhan ekonomi Islam di berbagai belahan dunia Islam. Di Indonesia, pendirian bank yang beroperasi berdasarkan prinsip Syariah pertama kali bermula pada tahun 1991 M, tetapi baru beroperasi pada tahun 1992 M, itu pun belum memakai nama Bank Syariah tetapi sebagai bank bagi hasil, karena memang belum ada payung hukum yang menjadi naungan berdirinya Bank Syariah di Idonesia. Dengan demikian, Indonesia tertinggal 9 tahun dari Malaysia dalam memulai praktik ekonomi Islam, khususnya dalam Bank Syariah.
Pada tahun 1998 M., pemerintah mengundangkan Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang perubahan terhadap Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan, yang didalmnya sudah memuat tentang operasi perbankan berdasarkan prinsip syariah. Setahun kemudian pemerintah mengundangkan UU No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang dalam pasal 10 menyatakan bahwa BI menerapkan policy keuangan berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Hadirnya 2 undang-undang tersebut semakin memperkokoh landasan yuridis eksistensi Bank Syariah di Indonesia. 
Dalam bidang akademik, beberapa universitas terkemuka di Indonesia juga semangat mengembangkan kajian akademik tentang ekonomi syariah. Berdasarkan gambaran di atas, perkembangan dan pertumbuhan praktek ekonomi Islam di Indonesia, terutama di era reformasi memberian harapan besar yang menumbuhkan optimisme bagi umat Islam untuk terus berupaya mengembangkan ekonomi Islam di Indonesia.[25]

BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Setelah kemerdekaan, yang diperjuangkan dan telah banyak mengorbankan jiwa umat Islam, namun posisi umat Islam dalam percaturan politik belum cukup menggembirakan. Hal ini nampak di dalam berbagai lembaga politik seperti BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), umat Islam hanya terwakili sekirat 25%, sedangkan dalam PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) lebih sedikit lagi yaitu hanya sekitar 12% saja dari seluruh jumlah anggota. Hanya dalam Panitia Sembilan umat Islam lebih dominan.
Peran islam dalam kemerdekaan secara garis besar dapat di bagi menjadi tiga masa:
1.    Peran islam dalam masa penjajahan Belanda
2.    Peran islam dalam masa penjajahan Jepang
3.    Peran islam dalam mempertahankan kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka terdapat keterkaitan antara perkembangan peradaban islam dan negara Pancasila dalam beberapa bidang kehidupan, di antaranya:
1.    Bidang Pendidikan
2.    Bidang Politik
3.    Bidang Budaya
4.    Bidang Kesenian
5.    Bidang Ekonomi

B.  Saran
Demikian makalah ini kami buat, kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan guna perbaikan makalah berikutnya. Semoga makalah ini berguna untuk kita semua. Aamiin.

DAFTAR PUSTAKA

Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005.
Saifullah, Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cetakan pertama, 2010.
Swasono, Sri Edi dan K.H.O. Gadjahnata, Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan, Jakarta: Universitas Indonesia, 1986.
Syaefudin, Machfud, dkk, Dinamika Peradaban Islam Perspektif Historis, Yogyakarta : Pustaka Ilmu, 2003.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2008.


BIODATA PEMAKALAH
A.  Pemakalah 1
Nama                     :    Kuwatno
NIM.                      :    133511009
Jurusan/Prodi         :    Tadris Matematika
TTL.                       :    Purbalingga, 22 Oktober 1992
Pendidikan             :    SD Negeri 1 Tlahab Kidul
                                    SMP Negeri 3 Karangreja
                                    MA Negeri Purbalingga
                                    IAIN Walisongo Semarang
Alamat                   :    Desa Tlahab Kidul Rt. 03/V kecamatan Karangreja, Kabupaten Purbalingga, kode pos 53357
Nomor Hp.             :    0857-2650-4548
Email                      :    kuwatno22@gmail.com
Twitter                   :    @Tata_Maths
Blog                       :    http://tabahkuwatno.blogspot.com
B.  Pemakalah 2
Nama                     :    Rizki Fadhilah
NIM.                      :    133511033
Jurusan/Prodi         :    Tadris Matematika/FITK
TTL.                       :    Boyolali, 16 Agustus 1996
Pendidikan             :    MI Klumpit, MTsN Karanggede, SMAN Klego, IAIN Walisongo
Alamat                   :    Ledoksari, Klumpit, Karanggede, Boyolali
Nomor Hp.             :    085642407280
Email                      :    khariza123@gmail.com
Twitter                   :    @vykrianna_QQ
Blog                       :    rizkifadhilahrizfa.blogspot.com
Moto hidup            :    فخير الأمور أوسطها       
C.  Pemakalah 3
Nama                     :    Roudloh Muna Lia
NIM.                      :    123711039
Jurusan/Prodi         :    Tadris Kimia
TTL.                       :    Pekalongan, 29 Juli 1994
Pendidikan             :    MI Islamiyah Banyurip Ageng 01 Pekalongan, MTs Isthifaiyah Nahdliyah Banyurip Ageng Pekalongan, MA Salafiyah Simbnag Kulon Pekalongan, IAIN Walisongo Semarang.
Alamat asli             :    Banyurip Ageng No.94 Buaran Pekalongan.
Alamat Sekarang   :    Ma’had Walisongo Semarang
Nomor Hp.             :    085725156669
Email                      :    aliamoetz@yahoo.co.id
D.  Pemakalah 4
Nama                     :    Siti Diah Andriani
NIM.                      :    133511035
TTL.                       :    Blora, 27 April 1996
Pendidikan             :    SDN Gunungan, MTs. Khozinatul Ulum Todanan, SMA Muh 05 Todanan
Alamat                   :    Ds. Gunungan RT 1 RW 3, Kecamatan Todanan, Kabupaten Blora
No. Hp.                  :    08998028401
E-mail                    :    dyahsda@yahoo.co.id




[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2008, hlm. 201.
[2] Saifullah, Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hlm. 33.
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2008, hlm. 265.
[4] Ibid. hlm. 266.
[5] Saifullah, Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hlm. 34.
[6] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2008, hlm. 267.
[7] Saifullah, Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hlm. 35-36.
[8] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2008, hlm. 267.
[9] Saifullah, Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hlm. 36.

[10] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005, hlm 30.
[11] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005, hlm 33.
[12] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2003, hlm 259.
[13] K.H.O. Gadjahnata & Sri Edi Swasono, Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan, Jakarta: Universitas Indonesia, 1986, hlm 7.
[14] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005, hlm 43-44.
[15] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005, hlm 56.
[16] Machfud Syaefudin, dkk, Dinamika Peradaban Islam Perspektif Historis, Yogyakarta : Pustaka Ilmu, 2003, hlm. 303 -304.
[17] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 309-314.
[18] Machfud Syaefudin, dkk, Dinamika Peradaban Islam Perspektif Historis, Yogyakarta : Pustaka Ilmu, 2003, hlm. 307.
[19] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 306.
[20] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2005, hlm. 89.
[21] Machfud Syaefudin, dkk, Dinamika Peradaban Islam Perspektif Historis, Yogyakarta : Pustaka Ilmu, 2003, hlm. 301-303.
[22] Machfud Syaefudin, dkk, Dinamika Peradaban Islam Perspektif Historis, Yogyakarta : Pustaka Ilmu, 2003, hlm. 307-309.
[23]  Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 308- 309.
[24] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2005, hlm. 97.
[25] Machfud Syaefudin, dkk, Dinamika Peradaban Islam Perspektif Historis, Yogyakarta : Pustaka Ilmu, 2003, hlm. 312-315.

0 comments

Post a Comment