DINA SETU HARAM METU

DINA SETU HARAM METU
( Mengungkap Misteri Sabtu dalam Kepercayaan Orang Banyumasan )

Mini Riset
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Islam dan Kebudayaan Jawa
Dosen Pengampu : M. Rikza Chamami, M.Si.


Oleh :
Kuwatno
NIM. 133511009

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Banyak cerita menjadi tradisi yang berkembang di daerah Banyumasan, salah satunya adalah cerita yang diambil dari Babad Wirasaba. Babad inilah yang menjadi induk sejarah daerah-daerah di wilayah Banyumasan. Sayangnya, banyak di antara kita yang kurang mengerti tentang sejarah ini, namun cerita yang berasal dari Babad Wirasaba ini diyakini adanya oleh masyarakat Banyumasan.
Keyakinan ini dimulai dari terjadinya tragedi terbunuhnya Adipati Wirasaba yang meninggal pada Sabtu Pahing akibat kesalah pahaman. Dari kisah inilah masyarakat Banyumasan mulai mempercayai bahwa hari Sabtu Pahing merupakan hari yang apes[1], sehingga banyak di antara mereka yang tidak melaksanakan kegiatan penting seperti ngunduh mantu, mertamba, sepitan[2] dan kegiatan lain terutama berpergian jauh pada hari Sabtu, khususnya Sabtu Pahing.
Tragedi yang menjadi kepercayaan ini semakin diyakini setelah terjadinya berbagai peristiwa seperti meninggalnya Raden Yudanegara I, Bupati Banyumas V dan Raden Yudanegara II Bupati Banyumas VII terjadi pada hari Sabtu Pahing, bahkan Pangeran Diponegoro juga mempercayai kepercayaan orang Banyumas tentang hari Sabtu Pahing untuk strategi dalam perang.
Seiring berjalannya waktu dan semakin majunya pemikiran ternyata tidak menghilangkan adanya tradisi ini, walaupun sekarang mulai ada yang menganggap hal tersebut adalah tahayul, syirik dan lain sebagainya namun masih banyak juga masyarakat Banyumasan yang tetap mempercayainya. Mengapa demikian? Hal inilah yang membuat saya tertarik untuk menemukan titik terang dari adanya tradisi Sabtu Pahing bagi masyarakat Banyumasan.
B.  Rumusan Masalah
Dalam mini riset ini akan mengungkap tentang bagaimana pandangan orang-orang Banyumasan terhadap misteri pada hari Sabtu.
C.  Tujuan
Tujuan dari dilakukannya mini riset ini adalah untuk mengungkap tentang bagaimana pandangan orang-orang Banyumasan terhadap misteri pada hari Sabtu yang dianggap nahas[3].
D.  Manfaat
Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil mini riset ini adalah sebagai berikut:
1.      Mengetahui akan asal usul lahirnya kepercayaan orang-orang Banyumasan terhadap nahasnya hari Sabtu.
2.      Memahami bahwa tradisi kepercayaan terhadap nahasnya hari Sabtu merupakan suatu kebudayaan yang perlu mendapatkan apresisasi sebagai salah satu kebudayaan yang berkembang di Banyumasan.


BAB II
PEMBAHASAN

A.  Tragedi yang mengawali lahirnya tradisi Setu apes
Cerita singkat lahirnya tradisi Setu apes bermula saat Adipati Wirasaba menikahkan putrinya dengan Sultan Pajang, yang mana sebelumnya sang putri telah dinikahkan dengan putra Demang  Toyareka. Kesalahpahaman dimulai setelah sang Adipati hendak pulang ke Wirasaba. Selepas Adipati pergi, Demang  Toyareka dengan putranya datang dan  mengadu pada Sultan Pajang bahwa putri Adipati Wirasaba masih resmi menjadi istri putra Demang  Toyareka. Sultan Pajang menjadi murka dan menyuruh prajuritnya untuk menemui dan membunuh Adipati Wirasaba. Setelah para prajuritnya pergi, Sultan Pajang menemui putri Adipati Wirasaba dan menanyakan tentang kebenarannya. Sang putri menjelaskan bahwa memang dia pernah di jodohkan dengan putra Demang Toyareka namun dia tidak mencintai putra Demang  Toyareka sehingga ayahnya megat hubungan mereka. Setelah mendengar penjelasan sang putri, Sultan Pajang menyesal dan segera menyuruh prajurit lain untuk menyusul dan mencegah prajurit yang sebelumnya ia tugaskan untuk membunuh Adipati Wirasaba. Pada saat itu, Adipati Wirasaba telah sampai dan mampir di rumah salah satu warga Ngambal. Di sana Adipati Wirasaba disuguhi makanan pindhang dan daging banyak dibawah rumah balai malang. Dan saat itu pula prajurit yang di suruh Sultan Pajang untuk membunuh Adipati wirasba tiba, mendapati sang Adipati sedang menikmati makanan prajurit tersebut membiarkan dan menunggu Adipati selesai makan. Di kejauhan, prajurit yang di tugasi untuk mencegah pembunuhan tadi datang, memberi peringatan untuk tidak membunuh Adipati, namun hal ini menjadi salah arti sehingga prajurit yang sedang menunggu Adipati menusukkan keris ke perut Adipati. Saat prajurit berdebat sang Adipati berkata bahwa ini adalah takdir dari Allaah SWT dan menyuruh para prajurit kembali ke pajang. Kuda dawuk yang memakai iket bangau tulak milik Adipati kembali sendiri ke Wirasaba sehingga membuat para kerabat geger.[4]
Sebelum meninggal Adipati Wirasaba berpesan kepada anak cucu keturunannya agar tidak berpergian jauh pada hari Sabtu Pahing, tidak boleh makan daging banyak, tidak boleh mendirikan rumah balai malang (sunduk sate) dan naik kuda klawu[5]. Jenazah Adipati Wirasaba kemudian dikubur di pesarean Pekiringan.
B.  Makna pesan Adipati Wirasaba yang hingga kini dipercayai masyarakat Banyumasan
Di masyarakat Banyumasan, berkembang pesan dari Adipati Wirasaba yang menurut mereka ternyata mempunyai makna tersendiri. Tidak berpergian jauh pada hari Sabtu Pahing khususnya dan umumnya tidak menggunakan hari tersebut untuk hal-hal  yang penting semisal hajatan dan lain sebagainya. Hal ini dikarenakan khawatir akan mengahadapi celaka misalnya kecelakaan, ditilang polisi, dan lain sebagainya yang intinya ada rasa kekhawatiran akan adanya halangan pada saat bepergian atau menyelenggarakan hajatan pada hari Sabtu, terutama Sabtu Pahing[6].
Tidak boleh makan daging banyak (angsa). Daging banyak di sini bukanlah daging banyak yang sebenarnya. Secara historis orang banyumasan berasal dari Trah Banyak sehingga maksud dari dilarangnya makan daging banyak adalah tidak boleh memakan daging saudara kita sendiri sebagai sesama orang Banyumasan, tidak boleh mengambil apa yang menjadi milik saudara kita.[7]
Hasil wawancara dengan Mas Aksin menyontohkan semisal ada wanita yang sudah jelas-jelas menjadi milik orang lain maka jangan mencoba untuk merebutnya, misal juga sudah dalam pingitan orang lain pun juga sama, karena melamar wanita yang sudah dalam pinangan orang lain pun tidak diperkenankan oleh agama, tambahnya.[8]
Tidak boleh mendirikan rumah balai malang. Makna sebenarnya dari rumah balai malang adalah rumah yang berada di perempatan yang sering kita sebut dengan totogan, sunduk sate. Secara logika saja, rumah di sekitar perempatan sudah pasti ramai dan mudah sekali tertimpa bencana, misal tertabrak truk seperti kejadian di sekitar SMP Negeri 3 Purbalingga, sehingga peringatan ini masuk akal dan benar adanya.
Dilarang berpergian menggunakan jaran dawuk. Sebagaimana kita ketahui kuda merupakan hewan dengan kekuatan, kelincahan, kecepatan yang tinggi, dan gesit, sehingga perlu kehati-hatian dalam mengendalikannya. Pesan yang dapat kita ambil adalah pada dasarnya kita harus selalu berhati-hati dan tidak terburu-buru dalam melakukan sesuatu apapun, agar kita selamat dan terhindar dari mara bahaya.
C.  Kerterkaitan hari Sabtu versi orang Banyumasan dengan Islam
Adanya kepercayaan kesialan di hari Sabtu bagi masyarakat Banyumasan bukan berarti juga mempersekutukan Allah. Sebagaimana kita ketahui, dalam Islam semua hari adalah sama dan baik, akan tetapi nabi Muhammad SAW pernah melarang umatnya yang melaksanakan puasa pada hari Sabtu dengan alasan hari Sabtu adalah hari yang di senangi kaum Yahudi, sehingga Nabi Muhammada SAW menganjurkan ummatnya untuk tidak berpuasa hanya pada hari Sabtu. Namun demikian dilarangnya berpuasa pada hari Sabtu pada zaman Rosululloh dengan masa kini tidak lagi menjadi suatu permasalahan. Hal ini sesuai dengan konteks keadaan pada masa itu, yang tentunya juga berbeda dengan dewasa ini.
Hal tersebut tidak terkait dengan tradisi Setu Pahing orang Banyumasan, karena tradisi ini berkembang ketika mulai banyak peristiwa nahas terjadi pada tokoh pembesar Banyumasan yang secara langsung ataupun tidak pernah dialamai langsung juga oleh masyarakat Banyumasan. Di samping itu, orang jawa yang juga dikenal dengan ilmu titen[9], memperhatikan serangkaian peristiwa yang terjadi pada hari Sabtu Pahing sehingga mereka menganggap bahwa memang hari Sabtu Pahing adalah hari apes bagi mereka masyarakat Banyumasan.




BAB V
SIMPULAN

Seiring maju dan berkembangnya zaman, ternyata tidak membuat tradisi Sabtu Pahing ini menjadi hilang. Kepercayaan yang telah dipegang sejak lama masih dipercayai oleh masyarakat Banyumasan, dari hasil wawancara dan kajian pustaka yang telah saya lakukan membuktikan bahwa masyarakat Jawa, khususnya masyarakat Banyumasan masih sangat menjaga tradisi yang ada tanpa menutup pandangan terhadap kemajuan zaman dan sama sekali tidak bermaksud untuk mempersekutukan agama. Sebagai salah satu tradisi yang ada, justru sebaiknya kita tetap menjaga keberadaannya yang menjadi salah satu bukti bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang majemuk sehingga kita harus saling menghormati dan menjaganya bersama-sama, semata untuk melestarikan tradisi dan budaya.




DAFTAR PUSTAKA

Herusatoto, Budiono. 2008. Banyumas (Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak.. Cetakan 1. Yogyakarta: LKIS.
Kamus Besar Bahasa Indonesia v2.1, apps KBBI terbaik untuk Windows Phone.
Wawancara dengan Bpk. Sukardjo Kirwan.
Wawancara dengan Mas Aksin, salah satu anggota ORDA KMBS (Keluarga Mahasiswa Banyumasan Serulingmas).
Wawancara dengan Mas Elvas, mantan ketua ORDA (2012-2014) KMBS (Keluarga Mahasiswa Banyumasan Serulingmas).






BIODATA

Nama                        :  KUWATNO
NIM                         133511009
Jurusan                     Pendidikan Matematika
Alamat                     :  Desa Tlahab Kidul 03/V
                                    Kec. Karangreja - Kab. Purbalingga
                                    Prov. Jawa Tengah - 53357
Alamat E-mail          :  kuwatno22@gmail.com
Twitter                     : @Tata_Maths
Blog                         : http://tabahkuwatno.blogspot.com
                                    http://tabahkuwatno.tk
Riwayat Pendidikan :  SD Negeri 1 Tlahab Kidul
                                    SMP Negeri 3 Karangreja
                                    MA Negeri 1 Purbalingga
UIN Walisongo Semarang



[1] Sial atau kurang beruntung.
[2] Ngunduh mantu maksudnya adalah menyelenggarakan pernikahan, mertamba maksudnya adalah mencari pengobatan dan sepitan yang artinya sama dengan khitanan.
[3] Menurut KBBI v2.1 Windows Phone, nahas berarti sial; celaka; malang (terutama dihubungkan dengan hari, bulan, dan sebagainya yang dianggap kurang baik menurut perhitungan).
[4] Wawancara dengan Mas Elvas, mantan ketua ORDA (2012-2014) KMBS (Keluarga Mahasiswa Banyumasan Serulingmas).
[5] Budiono Herusatoto, Banyumas (Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak, (LKIS :Yogyakarta), 2008, hlm. 56-57.
[6] Wawancara dengan Bpk. Sukardjo Kirwan, salah satu warga banyumasan yang masih ngugemi petung kejawen (meyakini perhitungan Jawa).
[7] Budiono Herusatoto, Banyumas (Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak), hlm. 56-57.
[8] Wawancara dengan Mas Aksin, salah satu anggota ORDA KMBS.
[9] Ilmu yang mencermati atau mengamati adanya suatu kejaian yang satu dengan yang lain yang berkaitan atau setidaknya ada kemiripan, kemudian dibuat suatu kesimpulan dan selanjutnya dijadikan sebagai suatu pedoman.

0 comments

Post a Comment