NILAI BUDAYA JAWA DAN ISLAM DALAM LIMA ASPEK PENINGGALAN

NILAI BUDAYA JAWA DAN ISLAM DALAM LIMA ASPEK PENINGGALAN
(Kujungan ke Museum Ronggowarsito)

Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Islam dan Kebudayaan Jawa
Dosen Pengampu : M. Rikza Chamami, M.Si.


Oleh :
Kuwatno
NIM. 133511009


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Museum Ranggawarsita merupakan museum Jawa Tengah yang terletak di Jl. Abdul Rahman Saleh No. 1 Kalibanteng Kulon Semarang. Museum yang diresmikan pada 5 Juli 1989 ini memiliki lebih dari 50.000 unit koleksi. Beberapa koleksi di antaranya merupakan hasil peninggalan kebudayaan Jawa yang masih berbau Hindu-Budha namun bercorak Islam. Dalam laporan hasil kunjungan ini akan dijelaskan secara singkat mengenai nilai-nilai budaya Jawa dan Islam dalam lima aspek peninggalan.
B.  Rumusan Masalah
Dalam laporan kunjungan ke museum Ronggowarsito ada rumusan masalah yang penulis angkat yaitu bagaimana nilai-nilai budaya Jawa dan Islam dalam lima aspek peninggalan ?
C.  Tujuan
Tujuan dari penulisan laporan kunjungan ke museum Ronggowarsito ini adalah untuk mengetahui nilai-nilai budaya Jawa dan Islam dalam lima aspek peninggalan.





BAB II
PEMBAHASAN

A.  Wayang
Wayang memiliki arti ”ayang-ayang”, “layangan”, atau bayangan. Karena yang terlihat adalah bayangannya di balik kelir. Bisa juga diartikan sebagai pertunjukkan yang disajikan dalam berbagai bentuk, terutama yang mengandung unsur pelajaran (piwulang). Pertunjukan ini diiringi dengan teratur oleh seperangkat gamelan.
Wayang pada mulanya dibuat dari kulit kerbau, hal ini dimulai pada zaman Raden Patah. Dahulunya lukisan seperti bentuk manusia. Karena bentuk wayang berkaitan dengan syariat agama Islam, maka para wali mengubah bentuknya. Dari yang semula lukisan wajahnya menghadap lurus kemudian agak dimiringkan.
Bersamaan dengan berdirinya kerajaan Islam Demak, maka wujud wayang geber diganti menjadi wayang kulit secara terperinci satu persatu tokoh-tokohnya. Sumber cerita dalam mementaskan wayang diilhami dari Kitab Ramayana dan Mahabarata. Tentunya para Wali mengubahnya menjadi cerita-cerita keislaman, sehingga tidak ada unsur kemusyrikan di dalamnya. Salah satu lakon yang terkenal dalam pewayangan ini adalah jimad kalimasada yang dalam Islam diterjemahkan menjadi Dua Kalimat Syahadat. Dan masih banyak lagi istilah-istilah Islam yang dipadukan dengan istilah dalam pewayangan.
B.  Gunungan
Gunungan merupakan simbol kehidupan, jadi setiap gambar yang berada di dalamnya melambangkan seluruh alam raya beserta isinya mulai dari manusia sampai dengan hewan serta hutan dan perlengkapannya. Gunungan dilihat dari segi bentuk segi lima, mempunyai makna bahwa segi lima itu lima waktu yang harus dilakukan oleh penganut agama Islam (Sholat). Adapun bentuk gunungan meruncing ke atas itu melambangkan bahwa manusia hidup ini menuju yang di atas yaitu Allah SWT. Dari segi bentuk yang mirip dengan mustoko (kubah) di atas masjid yang ada banyak di negara kita. itu perlambang dari sipembuat untuk kita supaya menjaga hati kita secar lurus kepada masjid/agama/tuhan (Allah SWT).
C.  Keris
Ajining diri soko lathi, ajining rogo soko busono, demikian pepatah yang mengandung arti bahwa penghargaan pada seseorang tergantung karena perkataan dan busananya. Mungkin pepatah itu lahir dari pandangan psikolog yang mendasarkan pada kerapian, kebersihan busana yang dipakai seseorang itu menunjukkan watak atau karakter yang ada dalam diri seseorang. Di kalangan masyarakat Jawa Tengah pada umumnya untuk suatu acara tertentu, misalnya pada upacara perkawinan, para kaum prianya harus mengenakan busana Jawi jangkep (busana Jawa lengkap dengan keris selipkan di bagian pinggang belakang). Mengapa harus keris? Karena keris itu oleh kalangan masyarakat di Jawa dilambangkan sebagai symbol "kejantanan." Dan terkadang apabila karena suatu sebab pengantin prianya berhalangan hadir dalam upacara temu pengantin, maka ia diwakili sebilah keris. Keris merupakan lambang pusaka.
Di dunia ini Allah Swt, menciptakan makhluk dalam dua jenis yang saling berpasang-pasangan yaitu lelaki dan perempuan, baik manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Hubungan keris dengan wrangka-nya secara khusus oleh masyarakat Jawa diartikan secara filosofi sebagai hubungan akrab, menyatu untuk mencapai keharmonisan hidup di dunia. Maka lahirlah filosofi "manunggaling kawula – Gusti", bersatunya abdi dengan rajanya, bersatunya insan kamil dengan Penciptanya, bersatunya rakyat dengan pemimpinnya, sehingga kehidupan selalu aman damai, tentram, bahagia, sehat sejahtera. Selain saling menghormati satu dengan yang lain masing-masing juga harus tahu diri untuk berkarya sesuai dengan porsi dan fungsinya masing-masing secara benar.
D.  Masjid Menara Kudus
Masjid peninggalan Walisongo ini lebih akrab di telinga warga dengan nama Masjid Menara Kudus. Masjid ini memiliki sebuah menara yang bagus dan unik. Menara ini terlihat seperti sebuah bangunan candi peninggalan Hindu. Menara dengan ciri khas inilah yang membuat orang lebih senang menyebutnya dengan Masjid Menara Kudus.
Masjid ini didirikan pada tahun 1549 M (956 H) oleh Jafar Shodiq alias Sunan Kudus yang merupakan salah satu tokoh Walisongo yang merupakan penyebar agama Islam di tanah Jawa. Masjid Al-Aqsa, nama sebenarnya dari masjid Menara Kudus ini, mempunya sejarah yang cukup tua dan berperan penting dalam penyebaran agama Islam di pulau Jawa khususnya.
Sebenarnya keberadaan menara yang menyerupai candi hindu ini masih diperdebatkan, apakah menara tersebut merupakan peninggalan budaya Hindu atau memang peninggalan Sunan Kudus sendiri. Namun, alasan kedua lebih kuat di mata masyarakat sekitar sebab tata letak menara menghadap ke Barat, berbeda dengan candi Hindu yang menghadap ke gunung, sedangkan Gunung Muria terletak di utara Kudus.
Masjid Menara Kudus ini menjadi bukti, bagaimana sebuah perpaduan antara Kebudayaan Islam dan Kebudayaan Hindu telah menghasilkan sebuah bangunan yang tergolong unik dan bergaya arsitektur tinggi. Sebuah bangunan masjid, namun dengan menara dalam bentuk candi dan berbagai ornamen lain yang bergaya Hindu.
Keunikan Mesjid Menara Kudus ini membuktikan adanya toleransi dan keharmonisan hubungan antar umat beragama pada masa itu. Keindahan Masjid Menara Kudus mengingatkan kita kembali akan pentingnya menjaga toleransi antar umat beragama yang telah ada sejak lama. Perbedaan agama bukanlah alasan untuk saling menonjolkan ajaran, menyombongkan panutan. Namun, dengan agama yang berbeda kita malah justru harus bisa dipersatukan dalam suasana indah dan harmonis.
E.  Masjid Demak
Masjid Agung Demak adalah sebuah mesjid yang tertua di Indonesia. Masjid ini terletak di desa Kauman, Demak, Jawa Tengah. Masjid ini dipercayai pernah merupakan tempat berkumpulnya para ulama penyebar agama Islam, yakni Walisongo, untuk membahas penyebaran agama Islam di Tanah Jawa.
Bangunan yang terbuat dari kayu jati ini berukuran 31 meter x 31 meter dengan bagian serambi berukuran 31 meter x 15 meter. Atap tengahnya ditopang oleh empat buah tiang kayu raksasa (saka guru), yang dibuat oleh empat wali di antara Walisongo.
Saka sebelah tenggara adalah buatan Sunan Ampel, sebelah barat daya buatan Sunan Gunung Jati, sebelah barat laut buatan Sunan Bonang, sedang sebelah timur laut yang tidak terbuat dari satu buah kayu utuh melainkan disusun dari beberapa potong balok yang diikat menjadi satu (saka tatal), merupakan sumbangan dari Sunan Kalijaga.
Masjid ini memiliki nilai historis yang sangat penting bagi perkembangan Islam di tanah air khususnya di tanah Jawa, tepatnya pada masa Kesultanan Demak Bintoro. Masjid ini dianggap sebagai monumen hidup penyebaran Islam di Indonesia dan bukti kemegahan Kesultanan  Demak Bintoro.
Masjid ini  memiliki keistimewaan berupa arsitektur khas ala Nusantara. Masjid ini  menggunakan atap limas bersusun tiga yang berbentuk segitiga sama kaki. Atap limas  ini berbeda dengan umumnya atap masjid di Timur Tengah yang lebih terbiasa dengan  bentuk kubah. Ternyata model atap limas bersusun tiga ini mempunyai makna,  yaitu bahwa seorang beriman perlu menapaki tiga tingkatan penting dalam keberagamaannya: iman, Islam, dan ihsan.
Di samping itu, masjid ini memiliki lima buah pintu yang menghubungkan satu bagian dengan bagian lain, yang memiliki  makna rukun Islam, yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. Masjid ini  memiliki enam buah jendela, yang juga memiliki makna rukun iman, yaitu percaya  kepada Allah SWT, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, hari  kiamat, dan qadha-qadar-Nya.

BAB III
PENUTUP

A.  Simpulan
Seni budaya dan tradisi lokal yang bernafaskan Islam sangat banyak dan memiliki manfaat terhadap penyebaran agama Islam. Untuk itulah sebagai generasi Islam, maka kita harus mampu mengapresiasikan diri terhadap permasalahan tersebut. Bentuk dari apresiasi terhadap seni budaya dan tradisi tersebut adalah dengan merawat, melestarikan, mengembangkan, simpati dan menghargai secara tulus atas hasil karya para pendahulu.
Pada zaman sekarang, ada sebagian kelompok umat Islam yang mengharamkan dan yang membolehkan seni budaya dan tradisi yang ada. Mereka mengharamkan karena pada zaman Rasulullah SAW tidak pernah diajarkan seni dan tradisi tersebut sedangkan golongan yang membolehkan dengan dasar bahwa semua tersebut adalah sebagai sarana dakwah penyebaran agama Islam. Sebagai generasi Islam, kita harus mampu mensikapi secara bijaksana dan penuh toleransi.
Para ulama’ dan wali pada zaman dahulu tentunya bukanlah orang yang bodoh dan tidak tahu hukum agama. Mereka mampu menerjemahkan pesan Islam ke dalam seni budaya dan tradisi yang ada pada masyarakat Indonesia, Jawa khususnya. Sehingga dengan mudah praktek keagamaan umat Islam dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa. Untuk itulah perlu adanya pemahaman secara bersama, bahwa seni budaya dan tradisi tidak harus diharamkan secara total karena memang mengandung nilai-nilai keislaman.
Umat Islam adalah umat yang tidak hanya memikirkan urusan akherat, tetapi juga memikirkan kehidupan dunia. Kehidupan di dunia tidak hanya kebutuhan yang bersifat fisik. Manusia juga membutuhkan sentuhan-sentuhan rohani dan kebutuhan tersebut bisa melalui seni dan budaya. Karena seni dan budaya yang baik mengandung unsur keindahan.
Tradisi lokal juga ada yang baik dan yang buruk. Tradisi yang baik kita pelihara sehingga menjadi warisan budaya nasional. Dan tradisi yang buruk dibuang agar tidak ditiru oleh generasi berikutnya.


0 comments

Post a Comment